Friday, November 30, 2012

Etika Bertetangga Di Kota dan Di Desa


Oleh: Mulyadi Saputra

 Setiap orang tidak bisa hidup sendiri, hal tersebut dikarenakan setiap orang membutuhkan bantuan orang lain baik dalam segi perkerjaan maupun yang lainnya. Sama halnya dengan bertetangga, yang sudah dipastikan setiap orang memiliki tetangga disekitar tempat tinggal. Namun, tradisi bertetangga ini sudah mulai luntur jika dilihat dari fungksi dan manfaat bertetangga itu sendiri. Terlebih di daerah perkotaan seperti Kota Bandung, khususnya di perumahan menengah ke atas.
Hal ini tentu berbenturan dengan budaya yang selama ini tertanam di desa, sebagaimana yang telah diajarkan dan diturunkan sejak nenek moyang terdahulu. Budaya yang telah diajarkan tersebut yakni tetangga adalah saudara terdekat yang harus dijalin keakrabannya, karena suatu saat akan sangat membutuhkan.
Di perumahan-perumahan kelas menengah ke atas bertetangga sudah semakin tak terasa, bukan hanya tidak akrab namun sebagian besar sudah tak saling kenal-mengenal lagi. Bahkan yang tinggal bersebelahan sekalipun sama sekali tak terjalin komunikasi efektif. Sejak Juli 2006, saya merasakan hal itu, di Perumahan Mekar Wangi, Jalan Moh. Toha, Kec.
Regol, Bandung. Selama tinggal di perumahan tersebut, sekitar dua tahun lamanya, tidak sama sekali mengenal pemilik dan penghuni rumah meski itu tentangga kanan dan kiri.
Namun budaya saling tak mengenal antartetangga ini semakin berkembang di daerah perkotaan, bahkan beberapa pemukiman dan perumahan baru diciptakan untuk kelas menengah ke atas dan akhirnya tercipta budaya tersebut. Sangat disayangkan, budaya yang elok yang telah ditanamkan oleh nenek moyang, untukj menjalin silaturahmi dengan tetangga sekitar luntur begitu saja. Lalu, mengenai etika budaya yang selama ini saya jalankan di kampung ternyata berbenturan dengan etika budaya tersebut.
Benturan sangat terasa dimana saya tidak lagi bisa meminta tolong dan akan menolong tetangga apabila sedang ada masalah dan sebagainya. Tidak saling tegur menegur dikala bertatap muka, atau bercerita bahkan bertanya kondisi dan lainnya. Bagi seorang yang baru memasuki wilayah seperti ini tentu akan sangat terkejut dan tidak terbisaa, hingga akhirnya harus beradaptasi cukup keras.
 Hidup bertetangga masih menjadi hal lumrah hingga saat ini, namun etika bertetangga dan budaya bertetangga sudah semakin luntur. Padahal ungkapan ‘tetangga adalah saudara terdekat’ memiliki makna cukup dalam bila dilihat bahwa manusia adalah makhluk sosial. Tetangga sangat dibutuhkan lebih dari saudara kandung sekalipun tetapi tempat tinggalnya yang jauh, lebih dari anak sekalipun, apabila berjauhan.
Fungsi tetangga yang paling utama adalah tolong menolong apabila sedang ada masalah yang mendadak dan harus ada tindakan cepat. Tetangga yang bisa menjalankan fungsi tersebut, bukan anak yang jauh atau saudara kandung yang jauh tinggalnya. Contoh yang paling dasar, misalnya dalam keadaan akan terjadi kebakaran, yang paling utama akan melihat kepulan asap dari rumah kita adalah tetangga dan yang paling pertama akan mendengar suara terikan permintaan tolong kita adalah tetangga. Oleh sebab itu yang paling pertama akan menolong, juga tetangga.
Jika demikian, bagaimana jika tidak saling kenal bahkan tidak pernah bertegur sapa. Ini yang perlu menjadi bahan pertimbangan, untuk merubah etika bertetangga di pemukiman menengah atas atau pemukiman mewah. Meski rumah kita telah dilengkapi dengan teknologi tinggi, yang mampu mengatasi berbagai keadaan dan kecelakaan, tetapi ada kalanya teknologi itu akan rusak dan error sehingga tidak dapat berfungsi dan membutuhkan bantuan konvensional.
Penyebab utama dari keadaan ini adalah kesibukan dalam berbagai urusan dan pekerjaan. Saya mengamati, tetangga-tetangga yang tak sempat bersosialisasi dengan tetangga lainnya yaitu karena waktunya di rumah cukup singkat, yaitu pulang ke rumah sekitar pukul 22.00 malam, dan berangkat lagi kemudian pukul 6.00 pagi. Sehingga peluang untuk bersosialisasi kepada tetanggapun habis sudah.
Sebenanya ini dapat disiasati dengan meluangkan waktu pada hari libur untuk sosialisasi dan bersilaturahmi dengan tetangga-tetangga tersebut. Meski pemukiman ini sebagaian besar adalah pendatang dan bersuku bangsa cina, tentu tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan kehidupan bertetangga yang saling mengenal dan saling membantu tetap tumbuh dan hidup sebagaimana bertetangga yang telah diajarkan oleh pendahulu-pendahulu kita.

2 comments: