Oleh: Mulyadi Saputra
Setiap
orang tidak bisa hidup sendiri, hal tersebut dikarenakan setiap orang
membutuhkan bantuan orang lain baik dalam segi perkerjaan maupun yang lainnya.
Sama halnya dengan bertetangga, yang sudah dipastikan setiap orang memiliki
tetangga disekitar tempat tinggal. Namun, tradisi bertetangga ini sudah mulai
luntur jika dilihat dari fungksi dan manfaat bertetangga itu sendiri. Terlebih
di daerah perkotaan seperti Kota Bandung, khususnya di perumahan menengah ke atas.
Hal
ini tentu berbenturan dengan budaya yang selama ini tertanam di desa,
sebagaimana yang telah diajarkan dan diturunkan sejak nenek moyang terdahulu.
Budaya yang telah diajarkan tersebut yakni tetangga adalah saudara terdekat
yang harus dijalin keakrabannya, karena suatu saat akan sangat membutuhkan.
Di
perumahan-perumahan kelas menengah ke atas bertetangga sudah semakin tak
terasa, bukan hanya tidak akrab namun sebagian besar sudah tak saling kenal-mengenal
lagi. Bahkan yang tinggal bersebelahan sekalipun sama sekali tak terjalin
komunikasi efektif. Sejak Juli 2006, saya merasakan hal itu, di Perumahan Mekar
Wangi, Jalan Moh. Toha, Kec.
Regol, Bandung. Selama tinggal di perumahan tersebut, sekitar dua tahun lamanya, tidak sama sekali mengenal pemilik dan penghuni rumah meski itu tentangga kanan dan kiri.
Regol, Bandung. Selama tinggal di perumahan tersebut, sekitar dua tahun lamanya, tidak sama sekali mengenal pemilik dan penghuni rumah meski itu tentangga kanan dan kiri.
Namun
budaya saling tak mengenal antartetangga ini semakin berkembang di daerah
perkotaan, bahkan beberapa pemukiman dan perumahan baru diciptakan untuk kelas menengah
ke atas dan akhirnya tercipta budaya tersebut. Sangat disayangkan, budaya yang
elok yang telah ditanamkan oleh nenek moyang, untukj menjalin silaturahmi
dengan tetangga sekitar luntur begitu saja. Lalu, mengenai etika budaya yang
selama ini saya jalankan di kampung ternyata berbenturan dengan etika budaya
tersebut.
Benturan
sangat terasa dimana saya tidak lagi bisa meminta tolong dan akan menolong
tetangga apabila sedang ada masalah dan sebagainya. Tidak saling tegur menegur
dikala bertatap muka, atau bercerita bahkan bertanya kondisi dan lainnya. Bagi
seorang yang baru memasuki wilayah seperti ini tentu akan sangat terkejut dan
tidak terbisaa, hingga akhirnya harus beradaptasi cukup keras.
Hidup
bertetangga masih menjadi hal lumrah hingga saat ini, namun etika bertetangga
dan budaya bertetangga sudah semakin luntur. Padahal ungkapan ‘tetangga adalah
saudara terdekat’ memiliki makna cukup dalam bila dilihat bahwa manusia adalah
makhluk sosial. Tetangga sangat dibutuhkan lebih dari saudara kandung sekalipun
tetapi tempat tinggalnya yang jauh, lebih dari anak sekalipun, apabila
berjauhan.
Fungsi
tetangga yang paling utama adalah tolong menolong apabila sedang ada masalah
yang mendadak dan harus ada tindakan cepat. Tetangga yang bisa menjalankan
fungsi tersebut, bukan anak yang jauh atau saudara kandung yang jauh tinggalnya.
Contoh yang paling dasar, misalnya dalam keadaan akan terjadi kebakaran, yang
paling utama akan melihat kepulan asap dari rumah kita adalah tetangga dan yang
paling pertama akan mendengar suara terikan permintaan tolong kita adalah
tetangga. Oleh sebab itu yang paling pertama akan menolong, juga tetangga.
Jika
demikian, bagaimana jika tidak saling kenal bahkan tidak pernah bertegur sapa.
Ini yang perlu menjadi bahan pertimbangan, untuk merubah etika bertetangga di
pemukiman menengah atas atau pemukiman mewah. Meski rumah kita telah dilengkapi
dengan teknologi tinggi, yang mampu mengatasi berbagai keadaan dan kecelakaan,
tetapi ada kalanya teknologi itu akan rusak dan error sehingga tidak dapat
berfungsi dan membutuhkan bantuan konvensional.
Penyebab
utama dari keadaan ini adalah kesibukan dalam berbagai urusan dan pekerjaan.
Saya mengamati, tetangga-tetangga yang tak sempat bersosialisasi dengan
tetangga lainnya yaitu karena waktunya di rumah cukup singkat, yaitu pulang ke
rumah sekitar pukul 22.00 malam, dan berangkat lagi kemudian pukul 6.00 pagi.
Sehingga peluang untuk bersosialisasi kepada tetanggapun habis sudah.
Sebenanya
ini dapat disiasati dengan meluangkan waktu pada hari libur untuk sosialisasi dan
bersilaturahmi dengan tetangga-tetangga tersebut. Meski pemukiman ini sebagaian
besar adalah pendatang dan bersuku bangsa cina, tentu tidak menutup kemungkinan
untuk menjadikan kehidupan bertetangga yang saling mengenal dan saling membantu
tetap tumbuh dan hidup sebagaimana bertetangga yang telah diajarkan oleh
pendahulu-pendahulu kita.
buat tambahan nih ka :))
ReplyDeletehttp://wijilestari.com
sip... tapi buat tambahan apa ya?? hehe
Delete