Foto dari: prabowo-womanizer.blogspot.com |
Latar
Belakang
Bangsa Indonesia
sebagai bangsa multikultur terdiri dari berbagai masyarakat yang memiliki
banyak suku dan etnik. Banyaknya suku dan etnik dapat menimbulkan stereotip
antaretnik. Stereotip antaretnik yang mendekati realitas sering merupakan
ekspresi rasa kesukubangsaan, namun di sisi lain stereotip yang tidak sesuai
dengan realitas etnik tertentu dapat menjadi bumerang dan kesalahpahaman
hubungan antaretnik.
Sebaliknya, stereotip
yang positif (mendekati realitas) akan mampu meningkatkan kompetensi komunikasi
antarbudaya, khususnya di bidang bisnis. Namun hubungan konsep-konsep tersebut
perlu diuji perkembangannya terkini, terutama dalam komunikasi bisnis antarbudaya
di Indonesia yang sangat beragam.
Terlebih untuk tataran
dunia, kita bisa lihat tiap negara akan berbeda cara memaknai sebuah sikap,
intonasi bicara, bahasa tanda (non verbal), atau isyarat-isyarat lainnya.
Dengan perbedaan tersebut tentu banyak hal yang harus dikaji kembali agar
keanekaragaman buda tidak menimbulkan efek negative, misalnya saling mencela
atau terpecahnya suatu hubungan diakibatkan oleh miss communications.
Terlebih dalam
komunikasi bisnis, yang berkaitan erat dengan lobi, dan negosiasi. Wilayah ini
teramat rawan untuk terjadi kesalah pahaman atau berbeda pendapat sehingga
bisnis yang akan dijalankan kedua belah pihak gagal. Misalnya dalam kontek
budaya, orang Jawa atau Sunda lebih kepada high context sedangkan Sumatera low
context, hal tersebut bisa menggugurkan suatu bisnis saat kedua belah pihak tak
saling memahami.
Komunikasi Bisnis dan Keragaman Budaya
Penggolongan kelompok
budaya tidak bersifat mutlak; kita boleh memilih satu atau lebih untuk menkitai
sebuah kelompok yang memiliki budaya yang sama. Misalnya di USA. Orang Amerika
berbicara tentang orang-orang asli California, Nebraska, dan New Hampshire
sebagai berasal dari budaya-budaya regional yang berbeda (West Coast, Midwest, dan New England), Kita boleh menyebut
masing-masing sebagai anggota sebuah budaya kota atau budaya desa, atau sebagai
anggota budaya Irlandia atau budaya Yahudi. Kita boleh menganggap mereka
sebagai anggota-anggota budaya Barat yang lebih luas lagi.
Intercultural communication is the
process of sending and receiving messages between people of different cultures.
Komunikasi
Antarbudaya (Intercultural Communication)
adalah proses komunikasi antaraorang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti
ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi).
Budaya adalah suatu
cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan
diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang
rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat-istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni.
Atau dalam versi
lainnya Culture is a shared system of
symbols, beliefs, attitudes, values, expectations, and norms for behavior.
Subcultures are distinct groups that exist within a major culture.
Cara kita berpakaian,
hubungan kita dengan orangtua dan teman-teman kita, apa yang kita harapkan dari
perkawinan dan pekerjaan, makanan yang kita makan, bahasa yang kita gunakan,
semuanya itu dipengaruhi oleh budaya kita. Ini tidak berarti bahwa, kita
berpikir, percaya, dan bertindak sama persis seperti setiap orang lainnya dalam
budaya kita.
Sebuah budaya akan
berubah dan berevolusi dari waktu ke waktu. Namun seperangkat karakteristik
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok secara keseluruhan dapat dilacak,
meskipun telah berubah banyak, dari generasi ke generasi.
a. Etnosentrisme
Dalam berkomunikasi,
kita cenderung untuk menghakimi nilai, adat istiadat atau aspek-aspek budaya
lain menggunakan kelompok kita sendiri dan adat istiadat kita sendiri sebagai sekitar
bagi semua penilaian. Disadari atau tidak, kita sering mengganggap kelompok
kita sendiri, negeri kita sendiri, budaya kita sendiri, sebagai yang terbaik,
yang paling bermoral, dan sebagainya.
Etnosentrisme sulit
dihilangkan, karena ia bersumber pada psikologi manusia (memperoleh dan
memelihara penghargaan diri). Dan ini merupakan keinginan yang sangat manusiawi
dari tiap orang yang berlatar budaya yang berbeda.
Adanya perbedaan budaya
dimasing-masing kelompok, masyarakat dan negara, juga turut mempengaruhi
efektifitas komunikasi antarbudaya. Adapun kunci keberhasilan dalam hubungan
komunikasi bisnis juga dapat dipengaruhi oleh hal-hal seperti :
1)
Social
Values
Contohnya orang Amerika
dikenal dengan etos kerja keras, sukses dapat diukur dari sisi materi,
berorientasi pada tujuan dan efesiensi. Sementara untuk Indonesia dengan
tingkat pengangguran usia kerja yang tinggi, menciptakan lapangan pekerjaan
jauh lebih penting daripada bekerja secara efisien.
2)
Roles
and Status
Contohnya, dibanyak
negara wanita masih belum (tidak) memainkan peranan yang menonjol dalam bisnis,
pemerintahan bahkan dalam praktek kesehariannya masih ada batasan-batasan. Hal
ini dikarenakan adanya sistem nilai, kepercayaan, dan pengaruh kuat agama.
Konsep status juga
berbeda. Seorang eksekutif Amerika menunjukkan tanda-tanda statusnya dengan
menunjuk kepada nilai materialistik. Big boss biasanya mempunyai ruang kantor
besar, karpet yang bagus, sofa yang mahal, asesori-asesori yang mahal, dll.
Mempunyai kantor pribadi lebih terhormat di Amerika, daripada sebuah meja kerja
pribadi di ruang terbuka. Ini disebutnya Spatial Arrangements. Dalam budaya
lain, dikomunikasikan dalam cara yang berbeda, misalnya seorang eksekutif
Perancis akan lebih terhormat apabila duduk di tengah dalam area yang terbuka.
3)
Concept
of Time
Perbedaan persepsi
terhadap waktu adalah faktor lainnya yang bisa menyebabkan misunderstandings. Para ekekutif Amerika dan Jerman melihat waktu
sebagai sesuatu yang harus diencanakan dan dipergunakan secara efisien,
berfokus hanya pada tugas pekerjaan tiap periode yang sudah terjadwal. Waktu
adalah terbatas, jadi mereka mencoba langsung mendapatkan sesuatu (informasi,
pendapat, masukan, pengarahan, dll) secepat mungkin ketika berkomunikasi.
Disisi lain, para
eksekutif Amerika Latin dan Asia melihat waktu sebagai sesuatu yang fleksibel. Karena
dalam budaya mereka, membangun sebuah dasar/fondasi hubungan bisnis adalah jauh
lebih penting daripada batas waktu pertemuan untuk tugas tertentu.
4)
Concept
of Personal Space
Seperti halnya waktu,
ruang/ jarak dalam berkomunikasi seringkali menyebabkan pengertian yang berbeda
dalam budaya yang berbeda. Dalam Budaya Barat dalam berkomunikasi biasanya
mereka berdiri 5 feet selama percakapan bisnis. Jarak ini bagi orang Jerman dan
Jepang, adalah dekat namun tidak nyaman . Tetapi bagi orang Arab dan Amerika
Latin, jarak ini jauh dan tidak nyaman.
Budaya Barat cenderung
bereaksi negatif (tanpa pemberitahuan kenapa), ketika seorang Arab bergerak
mendekat selama percakapan. Dan orang Arab mungkin bereaksi negatif (tanpa pemberitahuan
kenapa) ketika seorang Amerika/ Kanada bersikap mundur agak menjauh selama percakapan.
Dalam bukunya, antropolog Edward Hall
membedakan budaya konteks tinggi dan budaya konteks rendah. Menurutnya, budaya
bisa dianggap ada dalam suatu rentang (continuum),
seperti tampak dalam gambar di bawah.
b.
Budaya
Komunikasi dalam Dua Konteks
Ø Budaya
Komunikasi Konteks Tinggi
•
Jepang
•
Arab
•
Yunani
•
Spanyol
•
Italia
•
Inggris
•
Prancis
•
Amerika
•
Skandinavia
•
Jerman
•
Jerman-Swiss
Ø Budaya
Komunikasi Konteks Rendah
Contoh budaya-budaya
yang disusun dalam suatu rentang antara Budaya Konteks Tinggi dan Budaya
Konteks Rendah (Sumber : Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, Communication
Between Cultures, Belmont, CA : Wadsworth, 1991, hlm. 235)
Budaya konteks tinggi
dan budaya konteks rendah mempunyai beberapa perbedaan penting dalam cara
penyandian pesannya. Anggota budaya konteks tinggi lebih terampil membaca perilaku
nonverbal dan "dalam membaca lingkungan", dan mereka menganggap bahwa
orang lain juga akan mampu melakukan hal yang sama. Jadi mereka berbicara lebih
sedikit daripada anggota-anggota budaya konteks rendah. Umumnya komunikasi
mereka cenderung tidak langsung dan tidak ekplisit.
Budaya konteks rendah,
sebaliknya menekankan komunikasi langsung dan ekplisit: pesanpesan verbal
sangat penting, dan informasi yang akan dikomunikasikan disandi dalam pesan verbal.
Budaya konteks tinggi antara lain budaya Cina, Korea, Jepang, Indonesia.
Dalam membandingkan
orang-orang Amerika dengan orang-orang Melayu dan Jepang, Althen memberikan
suatu contoh dimensi konteks tinggi/ konteks rendah:
Orang-orang Amerika memperhatikan
kata-kata yang orang gunakan untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan
perasaan. Mereka umumnya tidak terampil dalam "membaca" pesan
nonverbal orang lain.
"Oh, kalian orang
Amerika!" kata seorang wanita Jepang yang jengkel dipaksa menjelaskan
rincian tentang suatu situasi yang tidak menyenangkan, "Kamu harus
mengatakan segalanya!" (Althen, 1992, Hlm. 416)
Orang Indonesia juga
sangat pintar dalam "membaca" pesan non verbal orang lain. Misalnya mahasiswa yang akan menghadap dosen
untuk urusan skripsi, maka mahasiswa tersebut harus dapat melihat apakah sang dosen
itu sedang dalam suatu situasi ceria (wajah), menyenangkan, punya waktu, dan
bisa diajak konsultasi dan sebagainya.
Kalau tidak bisa-bisa mahasiswa
tersebut dimarahi habis-habisan karena tidak mengerti keadaan sang dosen yang sedang
tidak mood tersebut.
c.
Komunikasi
Non Verbal
1) Body language
Contoh mengatakan "NO". Bagi orang Amerika
dan Kanada, mengatakan "NO" dengan menunjukkan geleng-geleng kepala (shake
their heads and forth) . Orang Bulgaria menunjukan dengan kepala naik turun (nod
up and down). Orang Jepang dengan menggerak-gerakan tangan kanan. Orang Sisilia
(Italia) dengan mengangkat dagunya.
2)
Eye
Contact
Contohnya orang Amerika Utara melihat eye contact
sebagai tanda kejujuran. Orang yang berkomunikasi dengan orang lain tidak memkitang
mata lawan bicara dipkitang tidak jujur. Anak-anak orang Puerto Rico diajarkan
untuk tidak memkitang mata orang dewasa karena tidak sopan. Orang Jepang
mengajarkan anak-anak mereka agar melihat orang yang jauh lebih tua hanya
sebatas leher. Di Korea memkitang lawan bicara terus menerus diartikan sebagai tanda
perbuatan kasar. Di negara Arab, antara pria dan wanita tidak dianjurkan untuk
saling menatap satu sama lain, karena bisa diartikan melanggar Hukum agama
Islam, atau memkitang orang yang bukan muhrimnya.
3)
Smiling
Pepatah Cino kuno mengatakan, “orang tanpa senyum
tidak boleh membuka toko". Senyum adalah bahasa universal, yang bisa
menutupi rasa malu, kesedihan/ duka, emosi, bahkan rasa marah seseorang. Gestures,
mempunyai makna berbeda ditiap negara. Di Bulgaria, orang yang
menganggukanggukan kepala bisa berarti mengatakan "no" dan
menggeleng-gelengkan kepala mereka yang bisa berarti berkata "iya".
4)
Personal
Space
Merupakan jarak yang diinginkan seseorang (wanita/pria)
ketika berkomunikasi atau pertukaran yang bukan dalam kondisi intim. Hasil
observasi dan experimen terbatas menyimpulkan bahwa, kebanyakan orang Amerika
Utara, Eropa Utara dan Asia menginginkan ruang pribadi yang lebih besar
dibandingkan dengan orang Amerika Latin, Perancis, Italia dan Arab.
5)
Touch
Hasil studi di US menunjukkan bahwa sentuhan
diintepretasikan sebagai menunjukkan "kekuatan" atau bisa diartikan
membantu atau menolong. Orang yang jauh lebih kuat, menyentuh orang yang kurang
kuat.
6)
Time
Masalah perbedaan waktu merupakan hal yang lumrah di
belahan bumi manapu. Tetapi yang jauh lebih penting adalah adanya perbedaan
sudut pkitang terhadap waktu dan sikap terhadap waktu.
Komunikasi non verbal
usianya lebih tua daripada komunikasi verbal. Hingga usia kira-kira 18 bulan,
manusia cenderung bergantung total pada komunikasi non verbal seperti sentuhan,
senyuman, pkitangan mata, bunyi-bunyian, dll. Maka tidaklah mengherankan ketika
kita ragu pada seseorang, kita lebih percaya pada pesan non verbalnya. Orang
yang terampil membaca pesan non berbal orang lain disebut intuitif, sedangkan
yang terampil mengirimkannya disebut ekspresif.
Manusia mempersepsi
tidak hanya lewat bahasa verbalnya saja, seperti bagaimana bahasanya (halus,
kasar, intelektual, mampu berbahasa asing, dan sebagainya), namun juga melalui perilaku
non verbalnya. Pentingnya pesan non verbal ini misalnya dilukiskan frase,
“bukan apa yang ia katakan, melainkan bagaimana ia mengatakannya” . Lewat
perilaku non verbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang,
apakah ia sedang bahagia, bingung, atau sedih. Kesan awal kita pada sesorang
sering didasarkan perilaku non verbalnya, yang mendorong kita untuk mengenalnya
lebih jauh.
Secara sederhana, pesan
non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata, mencakup semua rangsangan
(kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, dan bermakna bagi
orang lain.
Dilihat dari fungsinya,
perilaku non verbal mempunyai
beberapa fungsi. Paul Ekman menyebutkan lima fungsi pesan non verbal, seperti
yang dapat dilukiskan dengan perilaku mata, yakni sebagai :
1. Emblem.
Gerakan mata tertentu merupakan simbol yang memiliki kesetaraan dengan simbol
verbal. Kedipan mata dapat mengatakan, “Saya tidak sungguh-sungguh”.
2. Ilustrator.
Pandangan ke bawah dapat menunjukkan depresi atau kesedihan.
3. Regulator.
Kontak mata berarti saluran percakapan terbuka. Memalingkan muka menkitakan
ketidaksediaan berkomunikasi.
4. Penyesuai.
Kedipan mata yang cepat meningkat ketika orang berada dalam tekanan. Itu merupakan
respons yang tidak disadari yang merupakan upaya tubuh untuk mengurangi kecemasan.
5. Affect
Display. Pembesaran manik-mata (pupil dilation) menunjukkan peningkatan emosi. Isyarat
wajah lainnya menunjukkan perasaan takut, terkejut, atau senang.
d.
Oral Communication
Understatement
merupakan kebiasaan mengecilkan persoalan. Sedangkan exaggerate adalah pernyataan yang dilebih-lebihkan atau
dibesar-besarkan. Seorang businessman dalam bernegosiasi dengan seoarng Jerman
berkata, "I know it's impossible,
but can we do it? " . Bagi orang Jerman pernyataan itu menunjukkan
"tidak bisa dikerjakan". Namun bagi orang Amerika melihatnya "impossible" sebagai ada
hubungan kuat dengan berkata "difficult"
dan diasumsikan dengan adanya kecukupan sumberdaya dan komitmen untuk melakukannuya,
alias "the job could in fact be
done".
Compliments
adalah ungkapan kata pujian atas diri seseorang, bisa dalam konteks berkomunikasi
atau sapaan akrab. Silence, mempunyai
arti yang berbeda-beda dalam budaya yang berbeda. Di Jepang, diam bisa berarti
"I don't like your idea,"
tetapi juga bisa berarti , "I'm
thinking. Orang Mesir mengartikan diam dengan konsentrasi. Orang Yunani
mengartikannya dengan penolakan.
Kalau di Indonesia diam
adalah bisa takut atau tidak mengerti samasekali. Voice Qualities adalah keras lemahnya suara dalam berkomunikasi.
Terlalu keras dalam bersuara, lawan bicara bisa mengartikan pernyataan tersebut
dengan tulus hati, sungguhsungguh atau malah bisa diartikan kasar.
Kesimpulan
Dari pembahasan singkat di atas, dapat
disimpulakan bahwa setiap wilayah memiliki budaya masing-masing, ada yang sama
ada pula yang berbeda. Agar komunikasi bisnis di tengah keragaman budaya ini
tetap dapat berlangsung tanpa ada yang harus kalah dan terkalahkan. Atau,
akibat dari keanekaragam budaya mejadi komunikasi bisnis sering terhambat, maka
harus seorang komunikator (negosiator) mempelajari seluk beluk budaya pada
masing-masing wilayah, negara, suku untuk meminimalisir miss communication.
a.
Referensi
1. Locker,
O. Kitty., Business and Administrative Communication, Mc. Graw Hill - The Ohio
State University, USA,
2. Bovee,
Courland L., Business Communication Today, Prentice Hall International, Inc.
New Jersey
3. Mulyana,
Deddy., Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Remaja Rosdakarya Bandung, Juni 2000 Copyright
2001 @ido priyono hadi
No comments:
Post a Comment