Thursday, February 6, 2014

Komunikasi Bisnis Di Tengah Keragaman Budaya



Foto dari: prabowo-womanizer.blogspot.com


Latar Belakang
Bangsa Indonesia sebagai bangsa multikultur terdiri dari berbagai masyarakat yang memiliki banyak suku dan etnik. Banyaknya suku dan etnik dapat menimbulkan stereotip antaretnik. Stereotip antaretnik yang mendekati realitas sering merupakan ekspresi rasa kesukubangsaan, namun di sisi lain stereotip yang tidak sesuai dengan realitas etnik tertentu dapat menjadi bumerang dan kesalahpahaman hubungan antaretnik.

Sebaliknya, stereotip yang positif (mendekati realitas) akan mampu meningkatkan kompetensi komunikasi antarbudaya, khususnya di bidang bisnis. Namun hubungan konsep-konsep tersebut perlu diuji perkembangannya terkini, terutama dalam komunikasi bisnis antarbudaya di Indonesia yang sangat beragam.
Terlebih untuk tataran dunia, kita bisa lihat tiap negara akan berbeda cara memaknai sebuah sikap, intonasi bicara, bahasa tanda (non verbal), atau isyarat-isyarat lainnya. Dengan perbedaan tersebut tentu banyak hal yang harus dikaji kembali agar keanekaragaman buda tidak menimbulkan efek negative, misalnya saling mencela atau terpecahnya suatu hubungan diakibatkan oleh miss communications.
Terlebih dalam komunikasi bisnis, yang berkaitan erat dengan lobi, dan negosiasi. Wilayah ini teramat rawan untuk terjadi kesalah pahaman atau berbeda pendapat sehingga bisnis yang akan dijalankan kedua belah pihak gagal. Misalnya dalam kontek budaya, orang Jawa atau Sunda lebih kepada high context sedangkan Sumatera low context, hal tersebut bisa menggugurkan suatu bisnis saat kedua belah pihak tak saling memahami.

Komunikasi Bisnis dan Keragaman Budaya
Penggolongan kelompok budaya tidak bersifat mutlak; kita boleh memilih satu atau lebih untuk menkitai sebuah kelompok yang memiliki budaya yang sama. Misalnya di USA. Orang Amerika berbicara tentang orang-orang asli California, Nebraska, dan New Hampshire sebagai berasal dari budaya-budaya regional yang berbeda (West Coast, Midwest, dan New England), Kita boleh menyebut masing-masing sebagai anggota sebuah budaya kota atau budaya desa, atau sebagai anggota budaya Irlandia atau budaya Yahudi. Kita boleh menganggap mereka sebagai anggota-anggota budaya Barat yang lebih luas lagi.
Intercultural communication is the process of sending and receiving messages between people of different cultures.
Komunikasi Antarbudaya (Intercultural Communication) adalah proses komunikasi antaraorang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi).


Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat-istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Atau dalam versi lainnya Culture is a shared system of symbols, beliefs, attitudes, values, expectations, and norms for behavior. Subcultures are distinct groups that exist within a major culture.
Cara kita berpakaian, hubungan kita dengan orangtua dan teman-teman kita, apa yang kita harapkan dari perkawinan dan pekerjaan, makanan yang kita makan, bahasa yang kita gunakan, semuanya itu dipengaruhi oleh budaya kita. Ini tidak berarti bahwa, kita berpikir, percaya, dan bertindak sama persis seperti setiap orang lainnya dalam budaya kita.
Sebuah budaya akan berubah dan berevolusi dari waktu ke waktu. Namun seperangkat karakteristik dimiliki bersama oleh sebuah kelompok secara keseluruhan dapat dilacak, meskipun telah berubah banyak, dari generasi ke generasi.


a.      Etnosentrisme
Dalam berkomunikasi, kita cenderung untuk menghakimi nilai, adat istiadat atau aspek-aspek budaya lain menggunakan kelompok kita sendiri dan adat istiadat kita sendiri sebagai sekitar bagi semua penilaian. Disadari atau tidak, kita sering mengganggap kelompok kita sendiri, negeri kita sendiri, budaya kita sendiri, sebagai yang terbaik, yang paling bermoral, dan sebagainya.
Etnosentrisme sulit dihilangkan, karena ia bersumber pada psikologi manusia (memperoleh dan memelihara penghargaan diri). Dan ini merupakan keinginan yang sangat manusiawi dari tiap orang yang berlatar budaya yang berbeda.
Adanya perbedaan budaya dimasing-masing kelompok, masyarakat dan negara, juga turut mempengaruhi efektifitas komunikasi antarbudaya. Adapun kunci keberhasilan dalam hubungan komunikasi bisnis juga dapat dipengaruhi oleh hal-hal seperti :
1)      Social Values
Contohnya orang Amerika dikenal dengan etos kerja keras, sukses dapat diukur dari sisi materi, berorientasi pada tujuan dan efesiensi. Sementara untuk Indonesia dengan tingkat pengangguran usia kerja yang tinggi, menciptakan lapangan pekerjaan jauh lebih penting daripada bekerja secara efisien.
2)      Roles and Status
Contohnya, dibanyak negara wanita masih belum (tidak) memainkan peranan yang menonjol dalam bisnis, pemerintahan bahkan dalam praktek kesehariannya masih ada batasan-batasan. Hal ini dikarenakan adanya sistem nilai, kepercayaan, dan pengaruh kuat agama.
Konsep status juga berbeda. Seorang eksekutif Amerika menunjukkan tanda-tanda statusnya dengan menunjuk kepada nilai materialistik. Big boss biasanya mempunyai ruang kantor besar, karpet yang bagus, sofa yang mahal, asesori-asesori yang mahal, dll. Mempunyai kantor pribadi lebih terhormat di Amerika, daripada sebuah meja kerja pribadi di ruang terbuka. Ini disebutnya Spatial Arrangements. Dalam budaya lain, dikomunikasikan dalam cara yang berbeda, misalnya seorang eksekutif Perancis akan lebih terhormat apabila duduk di tengah dalam area yang terbuka.
3)      Concept of Time
Perbedaan persepsi terhadap waktu adalah faktor lainnya yang bisa menyebabkan misunderstandings. Para ekekutif Amerika dan Jerman melihat waktu sebagai sesuatu yang harus diencanakan dan dipergunakan secara efisien, berfokus hanya pada tugas pekerjaan tiap periode yang sudah terjadwal. Waktu adalah terbatas, jadi mereka mencoba langsung mendapatkan sesuatu (informasi, pendapat, masukan, pengarahan, dll) secepat mungkin ketika berkomunikasi.
Disisi lain, para eksekutif Amerika Latin dan Asia melihat waktu sebagai sesuatu yang fleksibel. Karena dalam budaya mereka, membangun sebuah dasar/fondasi hubungan bisnis adalah jauh lebih penting daripada batas waktu pertemuan untuk tugas tertentu.
4)      Concept of Personal Space
Seperti halnya waktu, ruang/ jarak dalam berkomunikasi seringkali menyebabkan pengertian yang berbeda dalam budaya yang berbeda. Dalam Budaya Barat dalam berkomunikasi biasanya mereka berdiri 5 feet selama percakapan bisnis. Jarak ini bagi orang Jerman dan Jepang, adalah dekat namun tidak nyaman . Tetapi bagi orang Arab dan Amerika Latin, jarak ini jauh dan tidak nyaman.
Budaya Barat cenderung bereaksi negatif (tanpa pemberitahuan kenapa), ketika seorang Arab bergerak mendekat selama percakapan. Dan orang Arab mungkin bereaksi negatif (tanpa pemberitahuan kenapa) ketika seorang Amerika/ Kanada bersikap mundur agak menjauh selama percakapan.
Dalam bukunya, antropolog Edward Hall membedakan budaya konteks tinggi dan budaya konteks rendah. Menurutnya, budaya bisa dianggap ada dalam suatu rentang (continuum), seperti tampak dalam gambar di bawah.
b.      Budaya Komunikasi dalam Dua Konteks
Ø  Budaya Komunikasi Konteks Tinggi
        Jepang
        Arab
        Yunani
        Spanyol
        Italia
        Inggris
        Prancis
        Amerika
        Skandinavia
        Jerman
        Jerman-Swiss
Ø  Budaya Komunikasi Konteks Rendah
Contoh budaya-budaya yang disusun dalam suatu rentang antara Budaya Konteks Tinggi dan Budaya Konteks Rendah (Sumber : Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, Communication Between Cultures, Belmont, CA : Wadsworth, 1991, hlm. 235)
Budaya konteks tinggi dan budaya konteks rendah mempunyai beberapa perbedaan penting dalam cara penyandian pesannya. Anggota budaya konteks tinggi lebih terampil membaca perilaku nonverbal dan "dalam membaca lingkungan", dan mereka menganggap bahwa orang lain juga akan mampu melakukan hal yang sama. Jadi mereka berbicara lebih sedikit daripada anggota-anggota budaya konteks rendah. Umumnya komunikasi mereka cenderung tidak langsung dan tidak ekplisit.
Budaya konteks rendah, sebaliknya menekankan komunikasi langsung dan ekplisit: pesanpesan verbal sangat penting, dan informasi yang akan dikomunikasikan disandi dalam pesan verbal. Budaya konteks tinggi antara lain budaya Cina, Korea, Jepang, Indonesia.
Dalam membandingkan orang-orang Amerika dengan orang-orang Melayu dan Jepang, Althen memberikan suatu contoh dimensi konteks tinggi/ konteks rendah:
Orang-orang Amerika memperhatikan kata-kata yang orang gunakan untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan perasaan. Mereka umumnya tidak terampil dalam "membaca" pesan nonverbal orang lain.
"Oh, kalian orang Amerika!" kata seorang wanita Jepang yang jengkel dipaksa menjelaskan rincian tentang suatu situasi yang tidak menyenangkan, "Kamu harus mengatakan segalanya!" (Althen, 1992, Hlm. 416)
Orang Indonesia juga sangat pintar dalam "membaca" pesan non verbal orang lain. Misalnya mahasiswa yang akan menghadap dosen untuk urusan skripsi, maka mahasiswa  tersebut harus dapat melihat apakah sang dosen itu sedang dalam suatu situasi ceria (wajah), menyenangkan, punya waktu, dan bisa diajak konsultasi dan sebagainya.
Kalau tidak bisa-bisa mahasiswa tersebut dimarahi habis-habisan karena tidak mengerti keadaan sang dosen yang sedang tidak mood  tersebut.
c.       Komunikasi Non Verbal
1)      Body language
Contoh mengatakan "NO". Bagi orang Amerika dan Kanada, mengatakan "NO" dengan menunjukkan geleng-geleng kepala (shake their heads and forth) . Orang Bulgaria menunjukan dengan kepala naik turun (nod up and down). Orang Jepang dengan menggerak-gerakan tangan kanan. Orang Sisilia (Italia) dengan mengangkat dagunya.
2)      Eye Contact
Contohnya orang Amerika Utara melihat eye contact sebagai tanda kejujuran. Orang yang berkomunikasi dengan orang lain tidak memkitang mata lawan bicara dipkitang tidak jujur. Anak-anak orang Puerto Rico diajarkan untuk tidak memkitang mata orang dewasa karena tidak sopan. Orang Jepang mengajarkan anak-anak mereka agar melihat orang yang jauh lebih tua hanya sebatas leher. Di Korea memkitang lawan bicara terus menerus diartikan sebagai tanda perbuatan kasar. Di negara Arab, antara pria dan wanita tidak dianjurkan untuk saling menatap satu sama lain, karena bisa diartikan melanggar Hukum agama Islam, atau memkitang orang yang bukan muhrimnya.
3)      Smiling
Pepatah Cino kuno mengatakan, “orang tanpa senyum tidak boleh membuka toko". Senyum adalah bahasa universal, yang bisa menutupi rasa malu, kesedihan/ duka, emosi, bahkan rasa marah seseorang. Gestures, mempunyai makna berbeda ditiap negara. Di Bulgaria, orang yang menganggukanggukan kepala bisa berarti mengatakan "no" dan menggeleng-gelengkan kepala mereka yang bisa berarti berkata "iya".
4)      Personal Space
Merupakan jarak yang diinginkan seseorang (wanita/pria) ketika berkomunikasi atau pertukaran yang bukan dalam kondisi intim. Hasil observasi dan experimen terbatas menyimpulkan bahwa, kebanyakan orang Amerika Utara, Eropa Utara dan Asia menginginkan ruang pribadi yang lebih besar dibandingkan dengan orang Amerika Latin, Perancis, Italia dan Arab.
5)      Touch
Hasil studi di US menunjukkan bahwa sentuhan diintepretasikan sebagai menunjukkan "kekuatan" atau bisa diartikan membantu atau menolong. Orang yang jauh lebih kuat, menyentuh orang yang kurang kuat.
6)      Time
Masalah perbedaan waktu merupakan hal yang lumrah di belahan bumi manapu. Tetapi yang jauh lebih penting adalah adanya perbedaan sudut pkitang terhadap waktu dan sikap terhadap waktu.
Komunikasi non verbal usianya lebih tua daripada komunikasi verbal. Hingga usia kira-kira 18 bulan, manusia cenderung bergantung total pada komunikasi non verbal seperti sentuhan, senyuman, pkitangan mata, bunyi-bunyian, dll. Maka tidaklah mengherankan ketika kita ragu pada seseorang, kita lebih percaya pada pesan non verbalnya. Orang yang terampil membaca pesan non berbal orang lain disebut intuitif, sedangkan yang terampil mengirimkannya disebut ekspresif.
Manusia mempersepsi tidak hanya lewat bahasa verbalnya saja, seperti bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing, dan sebagainya), namun juga melalui perilaku non verbalnya. Pentingnya pesan non verbal ini misalnya dilukiskan frase, “bukan apa yang ia katakan, melainkan bagaimana ia mengatakannya” . Lewat perilaku non verbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung, atau sedih. Kesan awal kita pada sesorang sering didasarkan perilaku non verbalnya, yang mendorong kita untuk mengenalnya lebih jauh.
Secara sederhana, pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata, mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, dan bermakna bagi orang lain.
Dilihat dari fungsinya, perilaku non verbal mempunyai beberapa fungsi. Paul Ekman menyebutkan lima fungsi pesan non verbal, seperti yang dapat dilukiskan dengan perilaku mata, yakni sebagai :
1.      Emblem. Gerakan mata tertentu merupakan simbol yang memiliki kesetaraan dengan simbol verbal. Kedipan mata dapat mengatakan, “Saya tidak sungguh-sungguh”.
2.      Ilustrator. Pandangan ke bawah dapat menunjukkan depresi atau kesedihan.
3.      Regulator. Kontak mata berarti saluran percakapan terbuka. Memalingkan muka menkitakan ketidaksediaan berkomunikasi.
4.      Penyesuai. Kedipan mata yang cepat meningkat ketika orang berada dalam tekanan. Itu merupakan respons yang tidak disadari yang merupakan upaya tubuh untuk mengurangi kecemasan.
5.      Affect Display. Pembesaran manik-mata (pupil dilation) menunjukkan peningkatan emosi. Isyarat wajah lainnya menunjukkan perasaan takut, terkejut, atau senang.
d.      Oral Communication
Understatement merupakan kebiasaan mengecilkan persoalan. Sedangkan exaggerate adalah pernyataan yang dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan. Seorang businessman dalam bernegosiasi dengan seoarng Jerman berkata, "I know it's impossible, but can we do it? " . Bagi orang Jerman pernyataan itu menunjukkan "tidak bisa dikerjakan". Namun bagi orang Amerika melihatnya "impossible" sebagai ada hubungan kuat dengan berkata "difficult" dan diasumsikan dengan adanya kecukupan sumberdaya dan komitmen untuk melakukannuya, alias "the job could in fact be done".
Compliments adalah ungkapan kata pujian atas diri seseorang, bisa dalam konteks berkomunikasi atau sapaan akrab. Silence, mempunyai arti yang berbeda-beda dalam budaya yang berbeda. Di Jepang, diam bisa berarti "I don't like your idea," tetapi juga bisa berarti , "I'm thinking. Orang Mesir mengartikan diam dengan konsentrasi. Orang Yunani mengartikannya dengan penolakan.
Kalau di Indonesia diam adalah bisa takut atau tidak mengerti samasekali. Voice Qualities adalah keras lemahnya suara dalam berkomunikasi. Terlalu keras dalam bersuara, lawan bicara bisa mengartikan pernyataan tersebut dengan tulus hati, sungguhsungguh atau malah bisa diartikan kasar.



Kesimpulan
Dari pembahasan singkat di atas, dapat disimpulakan bahwa setiap wilayah memiliki budaya masing-masing, ada yang sama ada pula yang berbeda. Agar komunikasi bisnis di tengah keragaman budaya ini tetap dapat berlangsung tanpa ada yang harus kalah dan terkalahkan. Atau, akibat dari keanekaragam budaya mejadi komunikasi bisnis sering terhambat, maka harus seorang komunikator (negosiator) mempelajari seluk beluk budaya pada masing-masing wilayah, negara, suku untuk meminimalisir miss communication.
a.      Referensi
1.      Locker, O. Kitty., Business and Administrative Communication, Mc. Graw Hill - The Ohio State University, USA,
2.      Bovee, Courland L., Business Communication Today, Prentice Hall International, Inc. New Jersey
3.      Mulyana, Deddy., Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Remaja Rosdakarya Bandung, Juni 2000 Copyright 2001 @ido priyono hadi

No comments:

Post a Comment