sumber foto: www.gosipgarut.com |
(pernah dimuat di Majalah Cyber)
Mulutmu
harimaumu. Agaknya peribahasa ini cocok untuk menggambarkan maraknya perang
para selebriti yang terjadi di dunia maya. Artis ini berkomentar jelek tentang
si artis lain di media sosialnya. Perang komentar pun ramai, belum lagi jika
para fans-nya sudah ikut nimbrung.
Kondisi makin runyam, akhirnya saat bertemu di dunia nyata, kedua artis tak
pernah bertegur sapa.
Berkomentar
atau beropini di dunia maya memang hak asasi, terlebih di media sosial
masing-masing. Namun, kebebasan berekspresi di dunia maya pun bisa berakibat
fatal karena dinilai melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE). Lantas, kebebasan berekspresi seperti apakah yang dapat dipidanakan?
Indonesia
sudah mempunyai UU ITE untuk mengatur penggunaan internet. Meski dinilai kurang
meng-cover segala permasalahan di
dunia maya, namun keberadaan UU ITE dapat membuat pengguna internet untuk mawas
diri dan tidak melampaui batas, salah satunya dalam mengeluarkan informasi atau
membuat pernyataan. Indonesia merupakan negara demokrasi, di mana setiap orang
bebas beropini, bahkan dijamin dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28
mengenai kebebasan berpendapat.
Namun,
jika pernyataan yang dibuat adalah fakta dan disampaikan ke publik melalui
dunia maya apa pun bentuknya, maka UU ITE yang berbicara. Terlebih, jika fakta
yang disampaikan ternyata tidak benar dan menyangkut orang lain, maka ini
termasuk dalam kategori mencemarkan nama baik. Kasus pencemaran nama baik
diatur UU ITE dalam Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Contoh
kebebasan ekspresi yang merugikan adalah kasus Prita Ismayani vs Rumah Sakit
OMNI Internasional. Kecewa dengan pelayanan yang diterimanya, Prita menumpahkan
kekesalannya pada rumah sakit di Jakarta ini melalui forum mailing list (milist). Masalahnya,
Prita tidak beropini seperti “Pelayanan RS OMNI Internasional jelek sekali pada
saya”. Ia mengatakan kalimat yang mengarah ke fakta yakni “RS OMNI
Internasional menipu saya, dokter-dokternya menipu saya”. Dan, karena
dokter-dokter di RS ini tidak merasa dirugikan, maka Prita pun diperkarakan.
Akhirnya, kasusnya ramai hingga mencuri perhatian pemerintah.
Menyampaikan
opini khususnya di dunia maya boleh-boleh saja. Tapi, ketika pernyataan yang
disampaikan adalah fakta palsu apalagi dengan tujuan untuk merusak, itu menjadi
pencemaran nama baik. Di negara mana pun termasuk Amerika yang menganut paham
Liberalisme, hal ini tak boleh dilakukan. Pernyataan yang kita sampaikan di
dunia maya sangat berbeda dampaknya dengan dunia nyat. Jika kita
menjelek-jelekkan seseorang di dunia nyata, paling hanya diketahui sejumlah,
itu pun mungkin hanya yang berkomunikasi dengan kita. Tapi di dunia maya, range-nya lebih luas. Pernyataan yang
disampaikan di dunia maya dapat diteruskan secara berulang-ulang oleh orang
lain dan dapat menyebar dengan mudah. Bahkan, meski file-nya sudah dihapus sekali pun.
Terlepas
dari ketidaksempurnaan UU ITE yang kini tengah direvisi, sebagai pengguna
internet kita harus bijak dan pintar. Pertama,
berpikir matang sebelum mengeluarkan pernyataan yang dirasa dapat menyinggung
pihak-pihak tertentu. Kedua, perlunya
memahami perbedaan opini dengan fakta, sehingga pernyataan yang kita keluarkan
tidak bermasalah di kemudian hari. Mungkin jika fakta yang disampaikan adalah
benar, kita tak akan terkena masalah. Tapi jika faktanya salah, dilihat
pihak-pihak yang merasa dirugikan, artinya kita termasuk dalam kelompok
pencemar nama baik.
Berdasarkan wawancara dengan Staf
Ahli Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) Bidang Komunikasi dan
Media Dr. Henry Subiakto, MA
No comments:
Post a Comment