Oleh:
Mulyadi Saputra
Media internal
perusahaan merupakan sarana komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan
berbagai informasi dari suatu organisasi atau perusahaan kepada masyarakat
luas. Media internal ini sudah dikenal cukup lama di Indonesia, sehingga tak
sedikit perusahaan mengaplikasikan strategi publikasi melalui media internal
tersebut.
Menurut Prita Kemal
Gani yang merupakan Ketua Umum BPP Perhumas[1]
Dalam berhubungan dengan steakholders,
berbagai saluran komunikasi dibutuhkan Humas, termasuk didalamnya adalah
penggunaan media internal. Humas sebagai fungsi manajemen, senantiasa berupaya
menjalin komunikasi dengan berbagai pihak terkait, sehingga organisasi itu
mendapat dukungan dari publik atau steakholders sesuai dengan harapan pimpinan
atau pengelola suatu organisasi atau perusahaan.
Di Indonesia, media
internal cukup pesat perkembangannya, hal tersebut tampak dari banyaknya
perusahaan yang kini memiliki media internal tersebut, baik dalam bentuk cetak
maupun digital. Dalam berntuk cetak misalnya, majalah, buku, brosure, leaflet
dan lainnya. Sedangkan dalam bentuk digital, seperti website, dan beragam
bentuk yang disajikan melalui perangkat digital (internet).
Namun kini dengan
perkembangan zaman, perusahaan tak perlu repot untuk membuat media internal
tersebut sendiri. Kini, agensi atau perusahaan rekanan atau perusahaan yang
khusus mengurusi media-media internal sudah tumbuh banyak di Indonesia.
Perusahaan tersebut sering disebut sebagai perusahaan konsultan humas atau
Konsultan Public Relations, atau
bahkan lebih spesifik dengan sebutan konsultan media.
Melalui konsultan
tersebut, sebuah perusahaan dapat melimpahkan pekerjaan atau pengelolaan media
internal tersebut kepada pihak kedua. Sehingga tak perlu lagi harus menyiapkan
beragam kebutuhan terkait pembuatan dan pengelolaan media internal, misalnya
SDM yang kompeten bidang media, atau desain grafis. Selain itu kerumitan
lainnya dalam pembuatan dan pengelolaan media internal telah ditanggulangi oleh
pihak konsultan.
Konsultan akan
memberikan layanan terhadap perusahaan klien dengan beragam metode, sehingga
perusahaan yang menjadi klien-nya akan merasa terbantu oleh pekerjaan tersebut.
Konsultan dituntut untuk memberikan suatu output yang dapat meningkatkan citra
perusahaan sesuai dengan tujuan humas perusahaan, sehingga wajar kiranya
perusahaan yang menjadi klien tersebut menuntut beberapa hal yang dirasa
dibutuhkan dalam peningkatan citra perusahaan.
Misalnya, dalam
pemeberitaan media internal tersebut memuat citra positif, baik, dan tidak
menyudutkan. Di lain sisi, konsultan humas/PR juga harus memiliki independensi
atau ketidak berpihakan sebagai lembaga yang berdiri sendiri. Dalam artian
lain, independensi yakni tidak menyudutkan atau mengangkat unsur negative pada
perusahaan lain yang menjadi pesaing perusahaan klien. Lalu, dalam proses
pembuatan media internal seperti majalah dan bentuk lainnya, konsultan
seharusnya tetap independen, menaati kaidah-kaidah jurnalistik dalam penulisan,
namun tak pula mengenyampingkan peran dan fungsi humas.
Oleh sebab itu
konsultan harus memiliki aturan atau dengan kata lain memahami batasan-batasan
dalam proses pendampingan terhadap perusahaan klien. Sehingga dapat berdiri
bebas tanpa memihak alias independen, baik perusahaan yang didampingi maupun
perusahaan lainnya. Namun, apakah ini terjadi dan berlaku untuk konsultan
humas/PR di Indonesia secara umum, tidak memihak dan berlaku objektif? Tentu
saja belum tentu semua dapat memegang teguh independensi yang seharusnya
dimiliki oleh konsultan.
Dari fenomena tersebut,
cukup menarik untuk didalami dan diteliti lebih jauh, mengenai independensi
konsultan dalam pendampingan humas perusahaan. Hal yang menarik diantaranya
proses pendampingan yang dilakukan oleh konsultan, sehingga tetap independen.
Lalu, dalam penerapan pengelolaan media internal dalam hal ini pembuatan
majalah internal (in house magazine)
yang biasanya dikenal tidak mematuhi kaidah jurnalistik, tetapi hanya
mementingkan fungsi dan peran media dalam Humas, misalnya berita yang tidak
berimbang dan berpihak, tidak faktual dan lainnya.
Konsultan Humas/PR tidak bisa disebut semua
menerapkan kaidah jurnalistik tanpa meninggalkan fungsi dan peran humas dalam
proses pembuatan majalah internal atau secara umum media internal perusahaan.
Hal ini dapat dilihat dari SDM yang ada pada tubuh konsultan itu sendiri.
Apakah semua menguasai dan mengerti apa yang menjadi batasan dalam lingkup
jurnalistik serta Humas atau berbanding terbalik.
Lebih rinci akan dibahas dari akar
kajian, yakni dari Jurnalistik yang berasal dari bahasa Latin yaitu diurnal, berarti harian atau tiap hari.
Acta diurnal adalah catatan harian
atau pengumuman tertulis setiap hari di papan pengumuman tentang kegiatan senat
di jaman Kaisar Romawi Julius Caesar pada abad 60 sebelum masehi (Muis,
1996:13).
Sedangkan dalam bahasa Perancis, journ berarti catatan atau laporan
harian. Secara sederhana, definisi jurnalistik adalah kegiatan yang berhubungan
dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari. Jadi jurnalistik bukanlah pers
atau media massa, karena jurnalistik merupakan sesuatu yang memungkinkan pers
atau massa bekerja dan di akui eksitensinya dengan baik (Sumadiria, 2005:2).
Sebagaimana mengutip pendapat
Adinegoro bahwa definisi jurnalistik adalah semacam kepandaian mengarang yang
pokoknya memberi perkabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya atas
seluas-luasnya (Sumadiria, 2005:3).
Menurut Astrid S. Susanto
jurnalistik adalah kegiatan pencatatan dan atau pelaporan serta penyebaran
tentang kejadian sehari-hari. Sedangkan menurut Djen Amar, kegiatan
mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan berita kepada khlayak seluas-luasnya
dengan secepat-cepatnya (Sumadiria, 2005:3).
Disamping itu kita perlu mengetahui
penggolngan jurnalistik dapat dibagi atas, Sumadiria (2005:4):
1. Jurnalistik media cetak (news and magazine journalism), yang
meliputi jurnalistik surat kabar harian, jurnalistik surat kabar mingguan,
jurnalisitik tabloid mingguan, dan jurnalistik majalah.
2. Jurnalistik media elektronik audikatif, yang meliputi radio siaran.
3. Jurnalistik media elektronik audiovisual yang meliputi jurnalistik
televisi siaran dan jurnalistik media on
line (internet).
McDaugall, menyebutkan bahwa jurnalisme adalah kegiatan menghimpun
berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Jurnalisme sangat penting
dimana dan kapan pun. Jurnalisme sangat diperlukan dalam suatu negara
demokratis. Tak peduli apa pun perubahan-perubahan yang terjadi di masa depan
baik sosial, ekonomi, politik maupun yang lainnya. Tak dapat dibayangkan, akan
pernah ada saatnya ketika tiada seorang pun yang fungsinya mencari berita
tentang peristiwa yang terjadi dan menyampaikan berita tersebut kepada khalayak
ramai, dibarengi dengan tentang penjelasan peristiwa itu (Kusumaningrat, 2006:15).
Dalam praktiknya, jurnalistik akan
dilindungi oleh undang-undang Pers dank kode etik jurnalistik. Kedua hal
tersebut, selain melindungi juga menjadi batasan-batasan lingkup kerja
Jurnalistik. Pasal 7 angka 2 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers
menerangkan, wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Menindaklanjuti mengenai Kode Etik Jurnalistik ini, Dewan Pers telah
mengeluarkan peraturan Dewan Pers Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan
Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik
Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers.
Dalam lampiran peraturan Dewan Pers
tersebut dikatakan:
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi
dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-undang
Dasar 1945, dan deklarasi Universal Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.
Kemerdekaan Pers ialah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan
berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan
manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga
menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggungjawab sosial, keberagaman
masyarakat dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan
peranannya, pers menghormati has asasi setiap orang, karena itu pers dituntut
professional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin
kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik memperoleh informasi yang benar,
wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman
operasional dalam menjaga kepercayaan public dan menegakan integeritas serta
profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode
Etik Jurnalistik[2].
Selanjutnya dalam pasal 1 Kode Etik
Jurnalistik dikatakan, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan
berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penafsiran pasal ini
menguraikan[3]:
1) Independen, berarti memberitakan
peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan,
dan intervensi dari pihak lain, termasuk pemilik perusahaan pers.
2) Akurat, berarti bisa dipercaya
benar, sesuai dengan keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
3) Berimbang, berarti semua pihak
mendapat kesempatan setara.
4) Tidak beritikad buruk, berarti tidak
ada niat secara sengaja untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Senada dengan penjelasan di atas, Suhirman (2006:3) menyatakan, etika dalam menulis berita
menjadi hal terpenting. Etika dalam berita tersebut yakni harus objektif,
berimbang, menghindarkan opini, mengutamakan kepentingan umum, dan bertanggung
jawab. Mengenai hal ini akan dikupas lebih dalam pada bagian selanjutnya
tentang etika.
Lalu
bagaimana dengan wartawan atau reporter majalah internal yang menulis untuk
media internal atau media kehumasan? Hal ini yang menjadi pertanyaan banyak
pihak, sebab hingga saat ini media internal yang dibuat dan dikelola sendiri
oleh bidang Humas-nya, maka media tersebut tidak akan mengikuti kode etik
Jurnalistik.
Pemahaman
ini pula yang menjadi hal menarik untuk didalami, pasalnya ketika berbicara
media maka tak terlepas dengan khalayak pembaca serta bidang kejurnalistikan.
Sebab, media secara umum merupakan ranah keilmuan bidang jurnalistik. Sehingga
ada aturan dan etika yang harus dipatuhi saat membuat dan menyusun berita yang
akan termuat dalam suatu media, yang kemudian disebarkan kepada khalayak
masyarakat luas.
Secara
umum tentu saja jika membahas kode etik maka tak dapat melewatkan etika. Sebagaimana
dikatakan Fahmi (2013:9) Untuk membahas hal etik harus memahami ingkup etika
bisnis, yaitu mengenal tindakan dan keputusan perusahaan yang dilihat dari segi
etika bisnis. Lalu kondisi-kondisi suatu perusahaan yang dianggap melanggar
ketentuan etika bisnis, dan sangsi yang akan diterima jika melanggar. Kemudian,
ukuran yang dipergunakan oleh suatu perusahaan dalam bidang etika bisnis.
Serta, peraturan dan ketentuan dalam bidang etika bisnis yang ditetapkan oleh
lembaga terkait.
Dalam
buku “Etika Kehumasan, Konsepsi dan Aplikasi” karya Rusady Ruslan, dibahas
mengenai etika-etika kehumasan serta media kehumasan. Dalam etika penulisan
oleh Humas, merupakan upaya praktisi Humas melakukan persuasive melalui pesan
komunikasi tertulis di media publikasi Humas/PR (Ruslan, 2011:66).
Sedikitnya,
ada lima etika yang harus dipatuhi oleh penulis dalam teknik penulisan
diberbagai media publikasi Humas, kelima hal tersebut tidak jauh berbeda dengan
apa yang menjadi etika penulisan pada bidang jurnalistik:
1. Truthfulness,
merupakan nilai-nilai kepercayaan yang selalu tertuang dalam bahan matrial
publikasi, tidak hanya subtansi ini penulisan informasi harus lengkap, tetapi
juga harus mengandung persuasive yang memiliki prinsip-prinsip etika. Ketuka
Humas sebagai penulis ingin menjelaskan informasi, dan berita tentang suatu peristiwa
atau kegiatan, penjelasan, serta pernyataan tertentu maha haruslah berdasarkan
kejujuran dan kebenaran apa adanya, (Ruslan, 2011:66).
Pada poin ini, seperti yang
paparkan oleh Sumadiria (2005:242), seorang pelaku pelaku pers harus
mengutamakan akurasi pada informasi yang hendak disebarkan kepada khalayak
melalui media. Pers dan Jurmalis tidak diperkenankan menyebarkan infomrasi yang
tidak/kurang akurat. Pers harus menyiarkan secara seimbang dan akurat.
2. Authenticity,
merupakan keaslian atau autentik bagi pihak praktisi Humas yang akan
mengeluarkan informasi atau pesan-pesan persuasive lainnya yang ingin
dipublikasikan melalui media komunikasi tersebut, kemudian harus dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara terbuka dengan narasumber yang jelas,
(Ruslan, 2011:67).
Pada poin ini, dijelaskan dalam
Kode Etik Wartawan Indonesia, yang menyatakan bahwa Wartawan Indonesia
menyiarkan informasi secara factual dan jelas dari sumbernya, tidak
menyembunyikan fakta serta pendapat yang penting dan menarik untuk diketahui
publik, sebagai hak masyarakat memperoleh infoormasi yang akutual dan dapat
dipertanggungjawabkan.
3. Respect,
yakni rasa menghargai dan menghormati martabat pihak khalayak pembaca sebagai
personal yang memiliki tingkat perbedaan kemampuan intelektual tertentu itu
tetap memperoleh informasi yang layak seperti yang diinginkan sama dengan
pembaca yang terdidik lainnya, dengan menggunakan bahasa yang tidak terlalu
teknis dan mudah dipahami semua tingkatan kemampuan pemahaman dari pembacanya,
(Ruslan, 2011:67).
Hal yang mirip juga tertuang pada
Pasal 6 Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999, yang mnyetakan bahwa Pers harus
memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui informasi.
4. Equity, yakni
hak kewajaran dalam prinsip-prinsip keadilan yang diperlukan untuk menyampaikan
pesan-pesan persuasive yang baik kepada khalayak publiknya, untuk menghindarkan
sasaran kritikan dari pesan terlalu berlebihan, (Ruslan, 2011:67).
Pada poin ini, berkaitan dengan
Undang-undang Pers yang menyetakan keadilan serta aktualitas informasi. Seperti
pada pasal 6, bahwa Pers nasional melaksanakan peranan sebagai memperjuangkan
keadilan dan kebenaran.
5. Social Responsibility,
pada ranah ini penulis PR harus harus menjunjung tinggi kode etik professional
humas, dengan memiliki tanggung jawab sosial terhadap kepentingan untuk
meningkatkan pendidikan, pengetahuan bermanfaat dan kemampuan pemahaman
khalayak, (Ruslan, 2011:67).
Mengani social responsibility,
tertuang dalam Undang-undang No.40 tahun 1999, pada Pasal 3, yang menyetakan
bahwa Pers nasional mempunyai fungsi informasi pendidikan, hiburan dan konstrol
sosial.
Pada intinya, media ialah sarana
atau alat untuk menyebar luaskan kepada publik. Berkaitan dengan media
internal, sudah selayaknya harus menaati pula kode etik jurnalistik dan undang-undang
pers, hal ini dimaksudkan agar berita dan informasi yang sampai kepada publik
memiliki, akurasi, aktualitas, serta berimbang tanpa ada pihak-pihak yang
dirugikan.
[1] Prita Kemal Gani dalam www.lspr.edu/pritakemalgani/komunikasi-melalui-media-internal/ diakses (pukul15:15 Tgl: 31 Mei
2014).
[2]
https://pwi.or.id (diakses: 25 Februari 2014 pukul 14:23).
[3]
https://pwi.or.id (diakses: 25 Februari 2014 pukul 14:23).
saya sangat senang berkunjung ke blog anda. anda membuat artikel sangat bagus. dan saya mendapatkan sebuah insipirasi mampir di blog anda
ReplyDeleteدواء للقضاء على النمل
ReplyDeleteهل النفتالين يقتل الحشرات
شفاط حمامات صغيرة
شقق للايجار في جدة حي الورود
كيف اطرد الوزغ من البيت
شركة دفان بالشرقية
سوق الخزان في الدمام
شركة كلين لاين
فلل للايجار في الرياض حي الياسمين
تنظيف جلي بلاط البلاط جدة