Monday, February 16, 2015

Penerapan Kode Etik Jurnalistik dalam Proses Pengelolaan Media Internal


 Oleh: Mulyadi Saputra
Media internal perusahaan merupakan sarana komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan berbagai informasi dari suatu organisasi atau perusahaan kepada masyarakat luas. Media internal ini sudah dikenal cukup lama di Indonesia, sehingga tak sedikit perusahaan mengaplikasikan strategi publikasi melalui media internal tersebut.
Menurut Prita Kemal Gani yang merupakan Ketua Umum BPP Perhumas[1] Dalam berhubungan dengan steakholders, berbagai saluran komunikasi dibutuhkan Humas, termasuk didalamnya adalah penggunaan media internal. Humas sebagai fungsi manajemen, senantiasa berupaya menjalin komunikasi dengan berbagai pihak terkait, sehingga organisasi itu mendapat dukungan dari publik atau steakholders sesuai dengan harapan pimpinan atau pengelola suatu organisasi atau perusahaan.

Di Indonesia, media internal cukup pesat perkembangannya, hal tersebut tampak dari banyaknya perusahaan yang kini memiliki media internal tersebut, baik dalam bentuk cetak maupun digital. Dalam berntuk cetak misalnya, majalah, buku, brosure, leaflet dan lainnya. Sedangkan dalam bentuk digital, seperti website, dan beragam bentuk yang disajikan melalui perangkat digital (internet).
Namun kini dengan perkembangan zaman, perusahaan tak perlu repot untuk membuat media internal tersebut sendiri. Kini, agensi atau perusahaan rekanan atau perusahaan yang khusus mengurusi media-media internal sudah tumbuh banyak di Indonesia. Perusahaan tersebut sering disebut sebagai perusahaan konsultan humas atau Konsultan Public Relations, atau bahkan lebih spesifik dengan sebutan konsultan media.
Melalui konsultan tersebut, sebuah perusahaan dapat melimpahkan pekerjaan atau pengelolaan media internal tersebut kepada pihak kedua. Sehingga tak perlu lagi harus menyiapkan beragam kebutuhan terkait pembuatan dan pengelolaan media internal, misalnya SDM yang kompeten bidang media, atau desain grafis. Selain itu kerumitan lainnya dalam pembuatan dan pengelolaan media internal telah ditanggulangi oleh pihak konsultan.
Konsultan akan memberikan layanan terhadap perusahaan klien dengan beragam metode, sehingga perusahaan yang menjadi klien-nya akan merasa terbantu oleh pekerjaan tersebut. Konsultan dituntut untuk memberikan suatu output yang dapat meningkatkan citra perusahaan sesuai dengan tujuan humas perusahaan, sehingga wajar kiranya perusahaan yang menjadi klien tersebut menuntut beberapa hal yang dirasa dibutuhkan dalam peningkatan citra perusahaan.
Misalnya, dalam pemeberitaan media internal tersebut memuat citra positif, baik, dan tidak menyudutkan. Di lain sisi, konsultan humas/PR juga harus memiliki independensi atau ketidak berpihakan sebagai lembaga yang berdiri sendiri. Dalam artian lain, independensi yakni tidak menyudutkan atau mengangkat unsur negative pada perusahaan lain yang menjadi pesaing perusahaan klien. Lalu, dalam proses pembuatan media internal seperti majalah dan bentuk lainnya, konsultan seharusnya tetap independen, menaati kaidah-kaidah jurnalistik dalam penulisan, namun tak pula mengenyampingkan peran dan fungsi humas.
Oleh sebab itu konsultan harus memiliki aturan atau dengan kata lain memahami batasan-batasan dalam proses pendampingan terhadap perusahaan klien. Sehingga dapat berdiri bebas tanpa memihak alias independen, baik perusahaan yang didampingi maupun perusahaan lainnya. Namun, apakah ini terjadi dan berlaku untuk konsultan humas/PR di Indonesia secara umum, tidak memihak dan berlaku objektif? Tentu saja belum tentu semua dapat memegang teguh independensi yang seharusnya dimiliki oleh konsultan.  
Dari fenomena tersebut, cukup menarik untuk didalami dan diteliti lebih jauh, mengenai independensi konsultan dalam pendampingan humas perusahaan. Hal yang menarik diantaranya proses pendampingan yang dilakukan oleh konsultan, sehingga tetap independen. Lalu, dalam penerapan pengelolaan media internal dalam hal ini pembuatan majalah internal (in house magazine) yang biasanya dikenal tidak mematuhi kaidah jurnalistik, tetapi hanya mementingkan fungsi dan peran media dalam Humas, misalnya berita yang tidak berimbang dan berpihak, tidak faktual dan lainnya.
 Konsultan Humas/PR tidak bisa disebut semua menerapkan kaidah jurnalistik tanpa meninggalkan fungsi dan peran humas dalam proses pembuatan majalah internal atau secara umum media internal perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari SDM yang ada pada tubuh konsultan itu sendiri. Apakah semua menguasai dan mengerti apa yang menjadi batasan dalam lingkup jurnalistik serta Humas atau berbanding terbalik.
Lebih rinci akan dibahas dari akar kajian, yakni dari Jurnalistik yang berasal dari bahasa Latin yaitu diurnal, berarti harian atau tiap hari. Acta diurnal adalah catatan harian atau pengumuman tertulis setiap hari di papan pengumuman tentang kegiatan senat di jaman Kaisar Romawi Julius Caesar pada abad 60 sebelum masehi (Muis, 1996:13).
Sedangkan dalam bahasa Perancis, journ berarti catatan atau laporan harian. Secara sederhana, definisi jurnalistik adalah kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari. Jadi jurnalistik bukanlah pers atau media massa, karena jurnalistik merupakan sesuatu yang memungkinkan pers atau massa bekerja dan di akui eksitensinya dengan baik (Sumadiria, 2005:2).
Sebagaimana mengutip pendapat Adinegoro bahwa definisi jurnalistik adalah semacam kepandaian mengarang yang pokoknya memberi perkabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya atas seluas-luasnya (Sumadiria, 2005:3).
Menurut Astrid S. Susanto jurnalistik adalah kegiatan pencatatan dan atau pelaporan serta penyebaran tentang kejadian sehari-hari. Sedangkan menurut Djen Amar, kegiatan mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan berita kepada khlayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya (Sumadiria, 2005:3).
Disamping itu kita perlu mengetahui penggolngan jurnalistik dapat dibagi atas, Sumadiria (2005:4):
1.      Jurnalistik media cetak (news and magazine journalism), yang meliputi jurnalistik surat kabar harian, jurnalistik surat kabar mingguan, jurnalisitik tabloid mingguan, dan jurnalistik majalah.
2.      Jurnalistik media elektronik audikatif, yang meliputi radio siaran.
3.      Jurnalistik media elektronik audiovisual yang meliputi jurnalistik televisi siaran dan jurnalistik media on line (internet).
McDaugall, menyebutkan bahwa jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Jurnalisme sangat penting dimana dan kapan pun. Jurnalisme sangat diperlukan dalam suatu negara demokratis. Tak peduli apa pun perubahan-perubahan yang terjadi di masa depan baik sosial, ekonomi, politik maupun yang lainnya. Tak dapat dibayangkan, akan pernah ada saatnya ketika tiada seorang pun yang fungsinya mencari berita tentang peristiwa yang terjadi dan menyampaikan berita tersebut kepada khalayak ramai, dibarengi dengan tentang penjelasan peristiwa itu (Kusumaningrat, 2006:15).
Dalam praktiknya, jurnalistik akan dilindungi oleh undang-undang Pers dank kode etik jurnalistik. Kedua hal tersebut, selain melindungi juga menjadi batasan-batasan lingkup kerja Jurnalistik. Pasal 7 angka 2 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers menerangkan, wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Menindaklanjuti mengenai Kode Etik Jurnalistik ini, Dewan Pers telah mengeluarkan peraturan Dewan Pers Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers.
Dalam lampiran peraturan Dewan Pers tersebut dikatakan:
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan deklarasi Universal Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan Pers ialah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggungjawab sosial, keberagaman masyarakat dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati has asasi setiap orang, karena itu pers dituntut professional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan public dan menegakan integeritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik[2].
Selanjutnya dalam pasal 1 Kode Etik Jurnalistik dikatakan, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penafsiran pasal ini menguraikan[3]:
1)      Independen, berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain, termasuk pemilik perusahaan pers.
2)      Akurat, berarti bisa dipercaya benar, sesuai dengan keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
3)      Berimbang, berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
4)      Tidak beritikad buruk, berarti tidak ada niat secara sengaja untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Senada dengan penjelasan di atas, Suhirman (2006:3) menyatakan, etika dalam menulis berita menjadi hal terpenting. Etika dalam berita tersebut yakni harus objektif, berimbang, menghindarkan opini, mengutamakan kepentingan umum, dan bertanggung jawab. Mengenai hal ini akan dikupas lebih dalam pada bagian selanjutnya tentang etika.
Lalu bagaimana dengan wartawan atau reporter majalah internal yang menulis untuk media internal atau media kehumasan? Hal ini yang menjadi pertanyaan banyak pihak, sebab hingga saat ini media internal yang dibuat dan dikelola sendiri oleh bidang Humas-nya, maka media tersebut tidak akan mengikuti kode etik Jurnalistik.
Pemahaman ini pula yang menjadi hal menarik untuk didalami, pasalnya ketika berbicara media maka tak terlepas dengan khalayak pembaca serta bidang kejurnalistikan. Sebab, media secara umum merupakan ranah keilmuan bidang jurnalistik. Sehingga ada aturan dan etika yang harus dipatuhi saat membuat dan menyusun berita yang akan termuat dalam suatu media, yang kemudian disebarkan kepada khalayak masyarakat luas.
Secara umum tentu saja jika membahas kode etik maka tak dapat melewatkan etika. Sebagaimana dikatakan Fahmi (2013:9) Untuk membahas hal etik harus memahami ingkup etika bisnis, yaitu mengenal tindakan dan keputusan perusahaan yang dilihat dari segi etika bisnis. Lalu kondisi-kondisi suatu perusahaan yang dianggap melanggar ketentuan etika bisnis, dan sangsi yang akan diterima jika melanggar. Kemudian, ukuran yang dipergunakan oleh suatu perusahaan dalam bidang etika bisnis. Serta, peraturan dan ketentuan dalam bidang etika bisnis yang ditetapkan oleh lembaga terkait.
Dalam buku “Etika Kehumasan, Konsepsi dan Aplikasi” karya Rusady Ruslan, dibahas mengenai etika-etika kehumasan serta media kehumasan. Dalam etika penulisan oleh Humas, merupakan upaya praktisi Humas melakukan persuasive melalui pesan komunikasi tertulis di media publikasi Humas/PR (Ruslan, 2011:66).
Sedikitnya, ada lima etika yang harus dipatuhi oleh penulis dalam teknik penulisan diberbagai media publikasi Humas, kelima hal tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang menjadi etika penulisan pada bidang jurnalistik:
1.      Truthfulness, merupakan nilai-nilai kepercayaan yang selalu tertuang dalam bahan matrial publikasi, tidak hanya subtansi ini penulisan informasi harus lengkap, tetapi juga harus mengandung persuasive yang memiliki prinsip-prinsip etika. Ketuka Humas sebagai penulis ingin menjelaskan informasi, dan berita tentang suatu peristiwa atau kegiatan, penjelasan, serta pernyataan tertentu maha haruslah berdasarkan kejujuran dan kebenaran apa adanya, (Ruslan, 2011:66).
Pada poin ini, seperti yang paparkan oleh Sumadiria (2005:242), seorang pelaku pelaku pers harus mengutamakan akurasi pada informasi yang hendak disebarkan kepada khalayak melalui media. Pers dan Jurmalis tidak diperkenankan menyebarkan infomrasi yang tidak/kurang akurat. Pers harus menyiarkan secara seimbang dan akurat.
2.      Authenticity, merupakan keaslian atau autentik bagi pihak praktisi Humas yang akan mengeluarkan informasi atau pesan-pesan persuasive lainnya yang ingin dipublikasikan melalui media komunikasi tersebut, kemudian harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara terbuka dengan narasumber yang jelas, (Ruslan, 2011:67).
Pada poin ini, dijelaskan dalam Kode Etik Wartawan Indonesia, yang menyatakan bahwa Wartawan Indonesia menyiarkan informasi secara factual dan jelas dari sumbernya, tidak menyembunyikan fakta serta pendapat yang penting dan menarik untuk diketahui publik, sebagai hak masyarakat memperoleh infoormasi yang akutual dan dapat dipertanggungjawabkan.
3.      Respect, yakni rasa menghargai dan menghormati martabat pihak khalayak pembaca sebagai personal yang memiliki tingkat perbedaan kemampuan intelektual tertentu itu tetap memperoleh informasi yang layak seperti yang diinginkan sama dengan pembaca yang terdidik lainnya, dengan menggunakan bahasa yang tidak terlalu teknis dan mudah dipahami semua tingkatan kemampuan pemahaman dari pembacanya, (Ruslan, 2011:67).
Hal yang mirip juga tertuang pada Pasal 6 Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999, yang mnyetakan bahwa Pers harus memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui informasi.
4.      Equity, yakni hak kewajaran dalam prinsip-prinsip keadilan yang diperlukan untuk menyampaikan pesan-pesan persuasive yang baik kepada khalayak publiknya, untuk menghindarkan sasaran kritikan dari pesan terlalu berlebihan, (Ruslan, 2011:67).
Pada poin ini, berkaitan dengan Undang-undang Pers yang menyetakan keadilan serta aktualitas informasi. Seperti pada pasal 6, bahwa Pers nasional melaksanakan peranan sebagai memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
5.      Social Responsibility, pada ranah ini penulis PR harus harus menjunjung tinggi kode etik professional humas, dengan memiliki tanggung jawab sosial terhadap kepentingan untuk meningkatkan pendidikan, pengetahuan bermanfaat dan kemampuan pemahaman khalayak, (Ruslan, 2011:67).
Mengani social responsibility, tertuang dalam Undang-undang No.40 tahun 1999, pada Pasal 3, yang menyetakan bahwa Pers nasional mempunyai fungsi informasi pendidikan, hiburan dan konstrol sosial.
            Pada intinya, media ialah sarana atau alat untuk menyebar luaskan kepada publik. Berkaitan dengan media internal, sudah selayaknya harus menaati pula kode etik jurnalistik dan undang-undang pers, hal ini dimaksudkan agar berita dan informasi yang sampai kepada publik memiliki, akurasi, aktualitas, serta berimbang tanpa ada pihak-pihak yang dirugikan.


[1] Prita Kemal Gani dalam www.lspr.edu/pritakemalgani/komunikasi-melalui-media-internal/ diakses (pukul15:15 Tgl: 31 Mei 2014).
[2] https://pwi.or.id (diakses: 25 Februari 2014 pukul 14:23).
[3] https://pwi.or.id (diakses: 25 Februari 2014 pukul 14:23).

2 comments: