ilustrasi by blog.umy.ac.id |
Dalam
ontologi, terdapat beberapa aliran didalamnya, diataranya yakni Materialisme, Idealisme, Dualisme, Agnoticisme namun ada pula
yang menjabarkan adanya aliran Pragmatisme, Monoisme yang
didalamnya terdapat Metrealisme serta Idealisme, serta ada pula aliran Nihilisme dan Pluralisme. Bahkan adapula yang
menyebutkan bahwa Islam termasuk di didalam aliran otologi ini.
Penulis akan memaparkan beragam aliran
yang ada dalam ontologi:
a. Idealisme
Tokoh utama dalam aliran ini ialah Plato dengan ajarannya
yang terkenal yaitu; bahwa ia telah mengatakan seuatu yang nyata atau riil itu
adalah sesuatu yang berada di ruang idea. Menurutnya idea merupakan gambaran
yang jelas tentang dunia realita yang ditangkap oleh panca indra manusia[1].
Kaum idealisme berkayakinan, bahwa apa yang tampak dalam
alam realitas bukanlah merupakan sesuatu yang riil, tetapi lebih merupakan
bayangan atas apa yang bersemayam dalam alam pikiran manusia. Menurutnya
realitas kebenaran dan kebaikan sebagai idea telah dibawa manusia sejak ia
dilahirkan, dan karenanya bersifat tetap dan abadi.
Kaum idealis meyakini bahwa pengetahuan sesungguhnya
adalah hasil atau produk akal, karena akal merupakan seuatu kemampuan melihat
secara tajam bentuk-bentuk spritual murni dari sesuatu yang melampau bentuk
materialnya. Kaum idealisme memandang segala sesuatu serba cita atau serba utuh[2].
Pengetahuan yang dihasilkan indra tidak akan pernah
menjadi pengetahuan yang hakiki atau sebenarnya tanpa pernah membiarkan akalnya
untuk menyusun pengetahuan yang memadai tentang apa yang dirasakan indara
tersebut. Menurut aliran ini, pengetahuan adalah suatu bagian dari pemikiran
manusia yang dikategorisasikan melalui alam yang objektif yang mana itu
ditangkap oleh indra manusia. Oleh karena itu, objek pengetahuan haruslah
melalui idea-idea yang seluruh koneksitasnya bersifat sistematis.
Plato
menempatkan konsep “the idea of the good”
ini sebagai sesuatu yang sangat penting dan strategis dalam mengembangkan
proses pendidikan. Ajaran filsafat Plato tentang idea memberikan keyakinan
bahwa idea dapat meningkatkan kemampuan rasio manusia. Idea memiliki hubungan
langsung dengan putusan-putusan rasio yang mengarah pada pembentukan sikap[3].
Plato sependapat dengan gurunya Socrates yang mengatakan
bahwa pengetahuan yang diterima melalui panca indra mesti selalu berada pada
ketidakpastian. Hal ini dikarenakan dunia materi hanyalah pantulan dari being
yang lebih sempurna dan dalam realitasnya selalu tidak mencerminkan seluruh
dari substansi yang sesungguhnya. Gambaran asli dari dunia idea manusia hanya
dapat dipotret oleh jiwa murniya yang dalam banyak hal berkenaan dengan intelek
manusia[4].
Idealisme berkeyakinan bahwa realitas sejati adalah dunia
ruhaniah, bukan yang materi. Dengan kata lain bahwa yang hakiki adalah idea
bukanlah panca indra. Apapun yang ditangkap oleh panca indra baik itu yang
dilihat, diraba, dirasa, dan dicium , itu hanyalah sebatas itu saja. Sesuatu
yang jelas dan pasti ialah apa yang berada dalam dunia idea.
Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia
idea, karena posisinya tidak tetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah
hakikat murni dan asli yang memiliki watak asli dan konstan[5].
Berdasarkan ini semua, maka akhirnya Plato menyimpulkan
bahwa pengetahuan berada dalam dua tingkatan, yaitu hipotesis dan kepastia
absolut. Plato berpendapat, bahwa pengetahuan adalah kesadaran dunia idea
manusia bahwa pengetahuan yang diajukan dan kesadarannya memiliki hubungan
sistematis dengan keseluruhan ideanya tentang kebaikan yang mutlak sebagai
prinsip tertinggi dalam kehidupan manusia[6].
Cabang dalam filsafat Idealisme yaitu Idealisme Obyektif
yang merupakan suatu aliran filsafat yang pandangannya idealis, dan
idealismenya itu bertitik tolak dari ide universil (Absolute Idea- Hegel /
LOGOS-nya Plato) ide diluar ide manusia. Menurut idealisme obyektif segala
sesuatu baik dalam alam atau masyarakat adalah hasil dari ciptaan ide
universil.
Cabanag berikutnya yaitu Idealisme Subyektif, merupakan filsafat
yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide manusia atau ide sendiri.
Alam dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia. Segala sesuatu yang timbul
dan terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil atau karena ciptaan ide
manusia atau idenya sendiri, atau dengan kata lain alam dan masyarakat hanyalah
sebuah ide/fikiran dari dirinya sendiri atau ide manusia.
b. Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam
hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda
dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan
berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan
kehidupan dalam alam ini.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang
dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan
istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum
dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de Prima
Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, menerangkan metodenya yang terkenal
dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping
Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm
von Leibniz (1646-1716 M)[7].
b. Realisme
Realisme merupakan aliran filsafat yang memandang bahwa
suatu yang riil adalah sesuatu yang bersifat fisik dan psikis. Dalam pemikiran
filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas pada
pengalaman inderawi ataupun gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan demikian
realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim
idealisme dan empirisme.
Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan
teori dengan metode induksi empiris. Gagasan utama dari realisme dalam konteks
pemerolehan pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal,
yaitu observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Tradisi
realisme mengakui bahwa entitas yang bersifat abstrak dapat menjadi nyata
(realitas) dengan bantuan symbol-simbol linguistik dan kesadaran manusia. Gagasan
ini sejajar dengan filsafat modern dari pendekatan pengetahuan versi Kantianism
fenonomologi sampai pendekatan structural[8].
Realisme melihat adanya hubungan dealektik antara
realitas subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak namun di pihak lain
ada realitas lain yang berada di luar dirinya sebagai sesuatu yangt dijadikan
objek pengetahuan. Sebuah pengetahuan baru dapat dikatakan benar apabila ada
kesesuaian dengan dunia faktual, dapat diamati, dan bersifat substantif. Aliran
ini menekankan, bahwa sesuatu dikatakan benar jika memang riil dan secara nyata
memang ada[9].
Realisme membagi
realitas menjadi dua bagian, pertama yaitu; subjek sebagai realitas yang
menyadari dan mengetaui di satu sisi, dan yang kedua yaitu; realitas yang
berada di luar diri manusia yang dapat dijadikan objek pengetahuan di sisi
lain.
Bertolak belakang dari pandangan idealisme yang
menyatakan bahwa pikiran manusia dimuati oleh kategori-kategorinya, seperti
substansialitas dan kausalitas tentang data indrawi, maka realisme
berkeyakinan, bahwa dunia yang kita terima bukanlah sebuah dunia yang kita
ciptakan kembali secara mental, tetapi merupakan sebuah dunia yang apa adanya.
Substansialitas, kausalitas, dan bentuk-bentuk alam adalah merupakan segi-segi
dari benda-benda itu sendiri, bukanlah semacam proyeksi dan pikiran.
Bagi kelompok realisme, ide atau proposisi adalah benar
ketika eksistensinya berhubungan dengan segi-segi dunia. Sebuah hipotesis
tentang dunia tidak dapat dikatakan benar semata-mata karena ia koheren dengan
pengetahuan. Jika pengetahuan baru itu berhubungan dengan yang lama, maka hal
itu hanyalah lantaran “yang lama” itu memang banar, yaitu disebabkan
pengetahuan lama koresponden dengan apa yang terjadi pada kasus itu. Jadi
koherasi tidak melahirkan kebenaran[10].
Realisme berkeyakinan bahwa pengetahuan selalu dihasilkan
dari proses pengamatan, pemikiran, dan kesimpulan dari kemampuan manusia
sebagai subjek dalam menyerap dunia objek. Dengan demikian pengetahuan yang
benar adalah pengetahuan yang koresponden dengan dunia sebagaimana adanya.
Dalam perjalanan waktu, ras manusia telah menempatkan sejumlah pengetahuan yang
kebenarannya telah dikonfirmasi secara berulang-ulang[11].
c. Pragmatisme
Pragmatisme adalah mashab pemikiran filsafat ilmu yang
dipelopori oleh C.S Peirce, William James, John Dewey, George Herbert Mead,
F.C.S Schiller dan Richard Rorty. Tradisi pragmatism muncul atas reaksi
terhadap tradisi idealis yang dominan yang menganggap kebenaran sebagai entitas
yang abstrak, sistematis dan refleksi dari realitas. Pragmatisme berargumentasi
bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan ilmu pengetahuan transendental dan
menggantinya dengan aktifitas manusia sebagai sumber pengetahuan. Bagi para
penganut mashab pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah
perjalanan dan bukan merupakan tujuan.
Kaum pragmatisme menyakini bahwa pikiran manusia bersifat
aktif dan berhubungan langsung dengan upaya penyelidikan dan penemuan. Pikiran
manusia tidak mengonfrontasikan dunia yang ianya terpisah dari aktivitas pendidikan
dan penemuan itu. Pengetahuan dunia dibentuk melalui pikiran subjek yang
mengetahuinya. Kebenaran itu tergantung sepenuhnya melulu pada korespondensi
ide manusia dengan realitas eksternal, karena realitas bagi manusia tergantung
pada bagian dalam ide yang menjelaskannya[12].
Menurut pragmatisme pengetahuan itu adalah produk dari
proses interaksi atau transaksi antara manusi dengan lingkungannya. Dan
kebenaran adalah suatu proferti bagi pengetahuan itu. Bagi kelompok pragmatisme
suatu ide itu dapat dikatakan benar jika ia benar-benar berfungsi dan bisa
diterapkan. Dengan kata lain sebuah pengetahuan dikatakan benar apabila ia
bernilai, bermanfaat, dan dapat diterapkan.
William
James mengatakan “ide itu dikatakan benar jika memberikan konsekuensi bernilai
dan atau fungsional bagi personnya.” Sementara itu Peirce dan jhon Dewey mengklaim bahwa suatu ide dikatakan benar
hanya jika memiliki konsekuensi yang memuaskan ketika secara objektif dan
saintifik ide itu dapat dipraktikkan secara memuaskan. Jadi, kaum pragmatisme
memandang kebenaran suatu ide tergantung pada konsekuensi yang muncul ketika
ide itu dioperasikan di alam empiris[13].
Jhon Dewey menyebutkan, bahwa pikiran bukanlah suatu yang
ultimate, absolut, tetapi merupakan suatu bentuk proses alamiah dimana ia
muncul sebagai hasil dari hubungan aktif antara organisme yang hidup dengan
lingkungannya. Pikiran manusia selalu berawal dari pengalaman dan untuk kembali
ke pengalaman. Ada hubungan interdependensi antara pikiran dan pengalaman
empiris yang meniscayakan perubahan-perubahan. Tidaklah dikatakan pengetahuan
jika tidak membawa perubahan bagi kehidupan manusia. Jadi, nilai pengetahuan
dilihat dari kadar instrumentalisnya yang akan membawa pada akibat-akibat yang
telah atau dihasilkan oleh ide/pikiran dalam pengalaman nyata[14].
Pragmatisme juga mengatakan bahwa method of intelegence
merupakan cara ideal untuk mendapatkan pengetahuan. Kita menangkap sesuatu yang
terbaik menurut kaum pragmatisme mestilah melalui melokalisasi problem sedemikian
rupa dan memecahkannya[15].
Berbagai pendapat mengemukakan aliran-aliran yang
berbeda-beda, sehingga memiliki banyak penjabaran. Dalam buku Filsafat Sebagai
Akar Ilmu Komunikasi yang ditulis Nina Syam, menggambarkan bahwa ada tiga
aliran besar dalam ontologi.
No comments:
Post a Comment