Wednesday, April 10, 2013

Komunikasi dalam Prespektif Islam


Komunikasi

ilustrasi dari arshadgraffity.blogspot.com
MAKALAH LENGKAP DOWNLOAD "DISINI" 
Komunikasi merupakan bagian dari ilmu sosial yang berakar pada filsafat. Nina Syam, membuat pohon komunikasi yang menjelaskan secara runut mengenai komunikasi yang berakar dari filsafat, psikologi, psikologi sosial, sosiolog, antropologi, biologi, fisika, dan matematika. Untuk biologi, fisika dan matematika tersentuh setelah perkembangan teknologi komunikasikasi yang semakin pesat. Batang dan dahan komunikasi merupakan pengembangan teoritis dan aplikatif yang mencakup teori-teori komunikasi dan perkembangannya, filsafat komunikasi, psikologi komunikasi dan lainnya[1]. 

Untuk itu filsafat komunikasi dari segi ontologi mempertanyakan apakah objek kajian ilmu komunikasi. Dalam konteks ilmu komunikasi, terdapat tiga paradigma dasar yang menentukan prespektif atau cara pandang terhadap komunikasi yaitu dari segi epistimologi, aksiologi dan ontologi Berdasarkan ke tiga paradigma tersebut, komunikasi didefinisikan sebagai usaha penyampaian pesan antar manusia. Artinya, objek ilmu komunikasi adalah tentang penyampaian pesan antar manusia yang disampaikan dengan usaha secara sengaja dilatari motif komunikasi, dikupas terlebih dahulu tentang hakikat manusia terutama faktok rohani yang dimilikinya. Manusia tidak bisa tidak berkomunikasi[2].
Sehingga tidak semua tindakan manusia adalah tindakan komunikasi. Oleh karena itu tindak komunikasi dalam penyampaian pesan ditandai dengan adanya motif komunikasi. Motif komunikasi sangat menentukan apakah sesuatu layak disebut pesan atau tidak, apakah seseorang berlaku sebagai komunikator medium atau komunikan yang bergeser menjadi komunikator.
Islam
Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan, dalam arti bukan berarti sudah usang dan tidak dibahas lagi, namun filsuf islam lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia dan alam, karena sebagaimana diketahui, pembahasan Tuhan hanya menjadi sebuah pembahasan yang tak pernah ada finalnya.
Secara etimologis filsafat berasal dari bahsa Arab yaitu falsafah. Kata falsafah inipun berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata philosophia. Philos berarti cinta, suka. Sophia berarti pengetahuan, ilmu, kebijaksanaan. Jadi Philosophia berarti cinta pengetahuan atau cinta pada kebijaksanaan. Sedangkan islam memiliki arti menyerahkan diri, lalu menyembah dan beribadah kepada Allah[3].
Ibadah dalam islam selalu dikaitkan dengan aktivitas berpikir dan memang berpikir adalah perintah Ilahi agar manusia bisa beriman, maka meniscayakan pengetahuan rasional di dalam proses kependidikan islam berorientari pada nilai-nilai ketuhanan. Pengetahuan rasional dalam islam bukan melulu akal dan bukan pula melulu indrawi, tetapi ada jalinan interdependensi.
Manusia diberikan fitrah untuk mengenal Tuhan, naluri ini ada pada manusia sejak asal mula kejadian atau penciptaannya. Melalu fitrah yang suci inilah pengetahuan yang diperoleh melalui indrawi yang kemudian menghasilkan sebuah kebenaran yang hakiki. Jadi, dengan demikian antara akal yang fitrah dan indrawi saling bahu membahu dalam menghasilkan pengetahuan yang hakiki.
Pandangan hidup islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatu (tauhid). Pandangan hidup islam bersumber kepada wahyu yag didukung oleh akal dan intuisi.
Islam memberikan keyakinan bahwa pembentukan pengetahuan erat kaitannya dengan penciptaan hubungan manusia, alam, dan Tuhan dalam siklus yang tidak terputus. Manusia sebagai subjek ilmu dituntut proaktif memainkan peran khalifahnya di dalam membuat garis-garis hubungan yang akan membentuk dirinya sebagai manusia mu’min muttaqin yang diidamkan. Dalam upaya ini, Islam mengajarkan bahwa setiap anak manusia memiliki kebebasan menentukan dirinya yang akan membawanya pada ‘ilmu al-yaqin yang memungkinkan ia bertanggung jawab akan apa yang ia hasilkan[4].
Pengakuan akan betapa pentingnya ilmu dan Islam, terlihat dari ajarannya yang menyebutkan bahwa mencari dan mengajarkan ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, sehingga lembaga pendidikan adalah suatu lembaga yang bertugas bagaimana menyadarkan subjek didiknya akan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk mengambil peran dalam belajar dan membelajarkan tersebut[5].
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa Islam merupakan agama dan kepercayaan yang meyakini adanya Tuhan. Sehingga dalam filsafat Islam tidak lagi membicarakan atau mencari Tuhan, melainkan alam semesta dan manusia yang ada sebagai objek dan pusat perhatian.
      Komunikasi Presfektif Islam
Ilmu komunikasi Islam, sebagaimana juga ilmu komunikasi umum, membahas tentang manusia. Komunikasi ada pada semua aspek kehidupan manusia. Tidak ada bidang kehidupan bermasyarakat yang tidak ada komunikasinya. Dengan konteks inilah menurut Wilbur Schramm dan Edward Sapir (1973) sebetulnya ilmu komunikasi tidak memiliki tanah atau lahan yang khusus bagi dirinya sendiri namun berdiri dari ilmu-ilmu sebelumnya seperti psikologi, antropologi dan lainnya seperti di kemukakan di atas.
Dengan demikian, komunikasi harus meminjam metode-metode dari disiplin-disiplin ilmu lain untuk memahami teorinya sendiri. Bagi Islam, komunikasi memang jelas sebagai salah satu fitrah manusia. Hal itu dapat dilihat pada Alquran surat ar-Rahmān/55, ayat 1-4. Firman Allah:
Artinya:
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.”

Kata-kata “al-bayan” di dalam salah satu ayat tersebut ditafsirkan As-Syaukani dalam tafsirnya Fath al-Qadir, sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat, diartikan sebagai kemampuan berkomunikasi[6].
Menurut Jalaluddin Rakhmat, selain kata “al-bayan”, kata kunci berkomunikasi yang dipergunakan di dalam Al-quran juga terdapat perkatan “qaul” dalam konteks “amar” atau perintah. Paling tidak, yang menggunakan kata-kata “qaul” dengan berbagai variasinya di dalam Alquran terdapat pada Qs. an-Nisā’/4: 5, 9 dan 63, al-Isra’/17: 23 dan 28, Tāha/20: 44 serta al-Ahzāb/33: 70. (Terjemahannya secara berturut-turut di bawah ini):
Artinya:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (Qs. an-Nisā’/4: 5, 9 dan 63).

Artinya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas” (Q.s. al-Isra’/17: 23 dan 28).

Artinya:
“maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." (Q.s. Tāha/20: 44).

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar” (Q.s. al-Ahzāb/33: 70)

Dari ayat-ayat tersebut dipahami bahwa obyek bahkan sekaligus yang menjadi subyek komunikasi Islam adalah manusia. Dengan demikian, obyek penelaahan ilmu komunikasi Islam juga manusia itu sendiri. Manusia yang menyampaikan pesan kepada sesamanya, bahkan ketika manusia berdo’a yang diyakini sebagai komunikasi antara manusia dengan Tuhan (komunikasi transendental) yang ditelaah adalah manusia itu sendiri, tentang bagaimana ia memanjatkan do’a, etikanya pada saat berdo’a, sampai kepada diterima atau tidaknya do’anya dengan melihat dampaknya terhadap dirinya atau yang dido’akannya. Kendati yang terakhir ini tentu saja sulit terdeteksi, tetapi paling tidak ada dampak yang dirsakannya mungkin daris sikap maupun perilakunya.
Sementara itu, berdasarkan pengertian dan pemahaman Penulis sendiri terhadap pengertian obyek formal sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi obyek formal ilmu komunikasi Islam tidak lain adalah segala pesan (message) yang sesuai dengan ajaran Islam dengan berdasarkan kepada Al-quran dan Hadis Nabi Muhammad Saw.
Tentu saja pesan yang menjadi kajian dalam ilmu komunikasi Islam adalah pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan sesuai dengan pesan-pesan yang diinginkan oleh Alquran maupun Hadis Nabi Saw. Hal ini memang perlu ditekankan, sebab perbedaan mendasar antara komunikasi Islam dengan komunikasi umum lainnya terutama terletak pada latar belakang filosofisnya (Alquran dan Hadis Nabi Saw.) dan aspek etikanya yang juga didasarkan pada landasan filosofi tersebut[7].
Komunikasi umum (non-Islam, nonreligius) sebenarnya juga mengadopsi etika, tetapi sanksi atas pelanggaran komunikator terhadap etika kamunikasi hanya berlaku di dunia. Sedangkan sanksi atas pelanggaran terhadap etika komunikasi Islam berlaku sampai di akhirat. Ada hukuman akhirat dan hukuman di alam kubur. Banyak sekali ayat dalam Alquran yang menjelaskan akan adanya hukuman bagi pelanggar-pelanggar etika komunikasi, baik secara eksplisit maupun implisit. Tetapi sanksi itu akan tidak berlaku lagi jika si pelanggar suad bertaubat atau minta ampun, jika Tuhan telah mengampuninya.
Jika pesan merupakan bahan yang akan disampaikan kepada komunikan, maka sumber pesan dalam komunikasi Islam ada 3 (tiga) kelompok, yaitu:
a.      Sumber Primer
Alquran dan Hadis Nabi Muhammad Saw., sedangkan pada komunikasi umum (Barat) informasi yang bersifat primer didapatkan dari pemegang otoritas secara langsung (first hand information), seperti tesis, surat, jurnal, dan sebagainya.
b.      Sumber Sekunder
Ijma’, qias, masālih al-mursalah, fatwa sahabat, amal penduduk Madinah, informasi dari tamaddun/peradaban lainnya, sedangkan pada komunikasi umum (Barat) yang menjadi sumber sekunder komunikasi adalah tulisan atau perkataan yang menjelaskan sumber primer, seperti indeks, abstraksi, bibliografi, dan sebagainya.
c.       Sumber Tertier
Pesan/informasi atau ilmu yang dikembangkan dari sumber sekunder yang memunculkan ilmu-ilmu baru, sedangkan pada komunikasi umum (Barat) sumber tertiernya adalah suatu informasi tentang sesuatu yang hal yang berkaitan dengan informasi-informasi lainnya, seperti bibliografi untuk bibliografi, buku tahunan atau laporan tahunan, dan sebagainya[8].


[1] Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Simbiosa Rekatama Media,  Bandung, Hlm: 5
[2] Sumber: http://raulchest.wordpress.com/tag/filsafat-ilmu-komunikasi/ diakses 25 Des. 2012 pukul 06.58
[3]  Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Islam diakses 25 des 2012 pukul 23.20
[4] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hlm:100
[5] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hlm:100

2 comments:

  1. subhanalloh ya.. terbukti klo bapak ini alumni univ.islam terkemuka :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jessica terima kasih... harus memberikan bekas pada almamater tercinta... hehe... yang lengkap download aja..."klik petunjuk "Makalah lengkap klik disini".. salam inspirasi...

      Delete