Oleh : Mulyadi Saputra, Agus
Anwar, Marki, Siti Komalasari
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dunia
komunikasi saat ini lebih meluas, komunikasi tidak akan ada habisnya untuk
dibahas, sebagai contohnya komunikasi ada beberapa pengelompokan antara lain
komunikasi bisnis, komunikasi politik, komunikasi antar pribadi, komunikasi
antar budaya, dan komunikasi massa. Akhir-akhir ini yang banyak dibicarakan
adalah komunikasi massa. Komunikasi massa berasal dari istilah bahasa Inggris,
mass communication, sebagai kependekan dari mass media communication. Artinya,
komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated.
Istilah mass communication atau communications diartikan sebagai salurannya,
yaitu media massa (mass media) sebagai kependekan dari media of mass
communication. Massa mengandung pengertian orang banyak, mereka tidak harus berada
di lokasi tertentu yang sama, mereka dapat tersebar atau terpencar di berbagai
lokasi, yang dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh
pesan-pesan komunikasi yang sama. Berlo (dalam Wiryanto, 2005) mengartikan
massa sebagai meliputi semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi
massa atau orang-orang pada ujung lain dari saluran.
Komunikasi
massa saat ini sedang meroket dan banyak dibutuhkan maupun menjadi konsumsi
publik. Contohnya Televisi, radio, maupun surat kabar, semua komunikasi massa
tersebut sudah menjadi konsumsi publik pada saat ini. Bahkan media televisi ini
ada tipe penontonnya atau di dalam teori kultivasi disebut sebagai pecandu, ada
dua tipi pecandu yaitu pecandu fanatik dan pecandu biasa. Karena televisi sudah
menjadi konsumsi publik maka hampir sebagian besar. Bahkan sebagian besar
masyarakat Indonesia sudah memiliki televisi. Sehingga dunia entertain juga
berlomba-lomba menyuguhkan tayangan yang dapat menghibur. Banyak sekali
tayangan-tayangan yang disuguhkan sekarang ini, ada kartun, infotainment,
berita, sitkom, sinetron, dan masih banyak lagi. Akan tetapi diantara banyak
tayangan tersebut tidak semuanya mendidik, tayangan yang disuguhkan juga tak
luput dari pengaruh, karena termasuk dalam ciri dalam media televisi, yaitu
persuasif. Dalam hal ini, televisi mampu mempengaruhi lingkungan melalui
penggunaan berbagai simbol. Pengaruh yang ada pada media televisi tidak hanya
pengaruh yang baik saja, akan tetapi pengaruh buruk akan ada pada televisi.
Pengaruh buruk ini pun tidak hanya sekedar buruk, akan tetapi sudah mengarah ke
dalam tindak kekerasan.
Dalam
komunikasi massa ada salah satu teory yang menjelaskan keterkaitan antara media
komunikasi dengan tindak kekerasan, salah satunya adalah teory kultivasi.
Makalah ini akan menjelaskan secara luas bagaimana untuk mengetahui tentang
pola komunikasi masa yang dijelaskan dengan teory kultivasi ini.
BAB II
PEMBAHASAN
TEORI KULTIVASI
(Cultivation Theory)
Teori kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor George Gerbner pada tahun 1960 ketika ia menjadi dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (AS). Tulisan pertama yang memperkenalkan teori ini adalah “Living with Television: The Violenceprofile”, Journal of Communication. Awalnya, ia melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain, ia ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi itu? Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada “dampak”.
Menurut
cultivation theory, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton
televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur dilingkungannya. Dengan kata
lain, persepsi apa yang terbangun di benak kita tentang masyarakat dan budaya
sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak kita dengan
televisi, kita belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat
kebiasannya. Inti dari penelitian mengenai kultivasi adalah siapa yang
menghabiskan waktu lebih banyak menonton televisi mempunyai kemungkinan untuk
memandang realitas dunia dalam cara yang mencerminkan pesan yang secara umum
disampaikan oleh televisi, dibandingkan dengan mereka yang lebih sedikit
menonton televisi, namun sebanding dalam hal karakteristik demografis yang
penting.
Analisa
kultivasi sebenarnya merupakan salah satu bagian dari tiga strategi penelitian
dari proyek Gerbner yang lebih besar lagi, yaitu penelitian mengenai Indikator
Kultural. Tiga strategi penelitian yang dilakukan Gerbner adalah:
1.
Institutional
process analysis (analisa proses kelembagaan), yaitu strategi penelitian yang
menyelidiki tentang tekanan dan keterbatasan yang mempengaruhi bagaimana pesan
media dipilih, dihasilkan, dan disebarkan;
2.
Message
system analysis (analisa sistem pesan), yaitu strategi penelitian dengan
mengukur dan memantau gambaran umum dalam acara televisi.
3.
Cultivation
analysis (Analisa kultivasi), yaitu strategi penelitian yang mempelajari apa
dan bagaimana televisi membantu menghasilkan konsepsi penonton tentang
kenyataan social (Bryant, J & D Zillmann. Media Effects: Advances in Theory
and Research. 2002:45).
Prespektif
kultivasi pada awal perkembangannya lebih memfokuskan kajian pada studi
televisi dan khalayak. Fokus utamanya pada tema-tema kekerasan di televisi ;
A.
KONSEPSI TEORI KULTIVASI
Dari perspektif teori, Gerbner khususnya
tertarik pada peran pesan, baik pada tataran interaksi sosial sehari-hari
maupun pada level sosial kultural yang lebih luas, dimana pesan dihasilkan
secara massal dan disebarluaskan. Gerbner mendefinisikan komunikasi sebagai
“interaksi melalui pesan”, dan dia melihat kultur atau budaya sebagai “sebuah
sistem pesan dan citra yang mengatur dan menghasilkan relasi sosial” (Gerbner,
1990, p. 250).
Dengan kata lain, kultur adalah sebuah sistem
dari cerita yang diproduksi-massal “yang menjembatani antara eksistensi dan dan
kesadaran akan eksistensi, dan untuk itu berkontribusi atas keduanya”. Sebagai
hasilnya, pesan dan citra yang ada di sekeliling kita merefleksikan dan
menghasilkan cara berpikir kita terhadap dunia. Namun pesan-pesan tersebut
tidaklah “netral”, tapi lebih merefleksikan nilai dan prioritas dari institusi
yang membuatnya. Pertanyaan kuncinya kemudian adalah: Asumsi, pandangan, cara
mengamati, dan pandangan umum seperti apa yang dikultivasi oleh sistem dominan?
a.
Namun
pertanyaannya bukan hanya itu saja, Gerbner juga melihat paradigma Indikator
Kultural sebagai maksud untuk menjawab persoalan yang lebih luas lagi, seperti:
Perspektif dan hubungan seperti apa yang ditunjukkan dalam sistem pesan yang
dihasilkan untuk komunitas yang luas dan beragam?
b.
Bagaimana
sistem ini dapat berlaku pada rentang waktu, antarkultur/budaya, dan masyarakat
yang berbeda?
c.
Bagaimana
produksi massal dan distribusi pesan diorganisasikan, dikontrol, dan diatur ?
d.
Apa asumsi
umum bahwa sistem pesan benar-benar dikultivasikan melalui dan atas sebuah
pesan tunggal atau beberapa pesan terpilih, atau atas respon individu dan
beberapa orang?
e.
Bagaimana
kultivasi dari asumsi kolektif ini membentuk terarahnya urusan publik (dan
tentu saja, sebaliknya)?
Sebagai
suatu pembanding atas cultivation theory, Miller (2005:282) menyatakan bahwa
cultivation theory tidak dikembangkan untuk mempelajari efek khusus atau
tertentu (misalnya dengan menonton tv akan membuat anak-anak mencoba untuk
terbang dengan meloncat dari jendela), tapi lebih kepada dampak kumulatif dan
menyeluruh (televisi) terhadap bagaimana kita memandang dunia yang kita diami
ini. Pada dasarnya cultivation theory beranggapan bahwa ekspos pada televisi
yang berlebihan, secara halus menanamkan persepsi pemirsa terhadap realitas.
Pada dasarnya, studi Indikator Kultural oleh
Gerbner dilakukan karena ia konsern pada dampak program televisi (khususnya
program kekerasan) terhadap tingkah dan perilaku masyarakat Amerika (Miller,
2005, p.281).
B. PENCERITAAN (Storytelling)
Konsep mengenai “storytelling” merupakan pusat dari kajian mengenai cultivation theory. Gerbner berpendapat bahwa perbedaan mendasar antara manusia dan mahluk hidup lainnya adalah bahwa kita hidup dalam dunia yang terbentuk oleh cerita-cerita yang kita ciptakan. Manusia secara unik hidup dalam dunia yang dialami dan dikonstruksi secara besar-besaran melalui berbagai macam bentuk dari “penceritaan” atau “storytelling”.
Pada
awalnya, berbagai informasi kebudayaan disampaikan secara langsung oleh
figur-figur yang dianggap berpengaruh dalam sebuah komunitas dalam masyarakat
tertentu, seperti para orang tua, guru-guru, bahkan para alim ulama. Namun
kini, peran tersebut telah tergantikan oleh keberadaan televisi. Televisi telah
merubah proses budaya dari storytelling menjadi suatu sistem yang
tersentralisasi, karena mengatasi halangan historis keberaksaraan dan
mobilitas. Menurut kajian ini dikatakan televisi adalah sebuah alat untuk
bercerita (storytelling) yang cenderung berfungsi sebagai sistem penyampai
pesan sehingga bisa dijadikan sebagai alat pembelajaran yang sama terus menerus
sehingga TV merefleksikan dan menciptakan opini, citra, dan kepercayaan
(beliefs) yang dipengaruhi oleh budaya yang ada dalam masyarakat dalam hal ini
audience akan termotivasi untuk memberikan perhatian yang lebih pada isi,
opini, citra atau pesan yang disampaikan oleh TV.
Seiring
dengan hal-hal tersebut diatas, televisi telah mendorong sistem storytelling
menjadi sebuah sistem yang berada dalam kendali kepentingan perdagangan global.
Secara lugas dapat disebutkan bahwa bersamanya terdapat berbagai hal yang dijual
kepada pasar. Dunia yang terbangun dari simbol-simbol komunikasi kini dibentuk
sesuai dengan kepentingan komersil, dan pemasaran.
Kajian
penelitian mengenai fenomena ini akan terfokus pada efek atau pengaruh televisi
terhadap perilaku individu atau khalayak penonton televisi akan tapi bukan pada
suatu tayangan yang khusus, episode atau genre. Cultivation theory and research
lebih berfokus pada sebuah sistem penerimaan pesan, yang merupakan total dan
pengulangan yang diterima secara terus menerus, baik berupa gambar, atau pesan
lain pada televisi sehingga ada intensitas yang dilakukan menurut jangka waktu
tertentu. Karena kedinamisan dan terus menerus inilah, maka cultivation theory
dibagi atas 2 (dua) bagian besar :
1.
Dinamika
dan kontinual ini yang biasa disebut sebagai intensitas menonton, yaitu:
a.
Heavy
Viewers, penonton berat adalah penonton atau khalayak yang menonton lebih atau
sama dengan 4 jam, pada jenis penonton ini biasanya perilaku yang ditimbulkan
atau efeknya akan terlihat sama dengan pesan yang ada di televisi;
b.
Light
Viewers, penonton ringan adalah penonton atau khalayak yang menonton kurang
dari 4 jam, yaitu tidak terpengaruh secara langsung atau dampak yang
ditimbulkan tidak signifikan.
2.
Dampak
pesan perilaku yang timbul. Bentuk sederhana dari penelitian mengenai kajian
kultivasi adalah :
a.
Jika
mereka yang menghabiskan lebih banyak waktu menonton televisi, maka menerima
realitas dunia sebagai refleksi dari pesan yang ada di televisi (heavy viewers)
b. Jika mereka sedikit menghabiskan waktu menonton
televisi, maka mereka menerima realitas dunia tidak serupa dengan pesan yang
ada di televisi (light viewers)
C.
ANALISIS METODE KULTIVASI (Cultivation
Analysis Methods)
Cultivation analysis methods dimulai dengan
pola identifikasi yang paling umum dan stabil dalam konten televisi, menekankan
gambar yang konsisten, penggambaran, dan nilai-nilai yang melintasi genre
program dengan melakukan analisis sistem pesan atau dengan memeriksa studi
konten yang ada dengan dimensi:
·
Eksistensi,
apa yang ada di dunia simbolik?
·
Prioritas,
apa yang penting?
·
Nilai, apa
yang benar atau salah, baik atau buruk, dll?
·
Hubungan,
apa yang berhubungan dengan hal tersebut dan bagaimana itu berhubungan?
Setelah dilakukan penetapan pola dimensi, maka
cultivation analysis mengembangkan suatu hipotesis tentang apa yang diharapkan
dari “heavy viewer” untuk berpikir tentang beberapa topik atau masalah.
Cultivation analysis menggunakan prosedur survei untuk menguji hubungan antara
jumlah waktu menonton televisi dengan konsepsi realitas sosial.
Cultivation analysis dimulai dengan analisis
sistem pesan untuk mengidentifikasi pola-pola permanen, kontinyu, dan
overarching dari konten televisi. Klasifikasi light viewer, medium viewer, dan
heavy viewer diukur dengan jumlah waktu responden menonton televisi rata-rata
setiap hari. Yang penting adalah adanya perbedaan tingkatan menonton, bukan
pada jumlah akurat menonton.
Bukti kultivasi yang bisa diobservasi tergolong
sederhana karena light viewer sekalipun dapat menonton televisi beberapa jam
sehari dan hidup dalam kultur umum yang sama dengan heavy viewer. Karena itu,
penemuan pola konsisten berbeda yang kecil tapi pervasif di antara light dan
heavy viewer sangat mungkin. (Bryant, J & D Zillmann : 2002).
Secara umum, light viewer dan heavy viewer
berbeda menurut umur, jenis kelamin, pendapatan, pendidikan, ras, waktu
senggang, agama, isolasi sosial, orientasi politik, dan sejumlah variabel
demografis, sosial, dan psikologis lainnya. Light viewer cenderung terkena
sumber informasi yang lebih bervariasi dan beragam, sedangkan heavy viewer
cenderung lebih mengandalkan televisi. Pergeseran kecil tapi pervasif dalam
perspektif kultivasi dapat mengubah kondisi kultural dan membalik keseimbangan
pembuatan keputusan politis dan sosial.
D.
EARLY RESULTS
Garbner melakukan penelitian dampak televisi
dengan menggunakan metode survey analisis dan menemukan bahwa heavy viewers
akan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya.
Misalnya, menanggapi perilaku kekerasan yang terjadi di masyarakat, para heavy
viewers akan mengatakan bahwa sebab utama munculnya kekerasan karena masalah
sosial (karena televisi yang sering ia tonton sering menyuguhkan berita dan
kejadian dengan motif kekerasan). Padahal bisa jadi sebab utama itu lebih
karena faktor cultural shock dari tradisional ke modern. Dengan kata lain,
penilaian, persepsi,opini penonton televisi digiring sedemikian rupa agar
sesuai dengan apa yang mereka lihat di televisi.
Bagi heavy viewers, apa yang terjadi pada
televisi itulah yang terjadi pada dunia sesungguhnya. Gerbner berpendapat bahwa
media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media mempengaruhi penonton
dan masing-masing penonton meyakininya. Televisi, sebagaimana diteliti oleh
Garbner. Dianggap sebagai pendominasi “lingkungan simbolik” seseorang.
Cultivation theory menganggap bahwa televisi tidak hanya disebut sebagai
jendela atau refleksi kejadian sehari-hari disekitar kita, tetapi dunia itu
sendiri (McQuail dan Windahl, 1993). Garbner juga berpendapat bahwa gambaran
adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan
aturan. Dengan kata lain perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi
merupakan refleksi kejadian disekitar kita. Jika adegan kekerasan itu
merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi seperti yang
digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi yang terjadi sebenarnya juga
begitu.
E.
CRITIQUE AND REFINEMENTS
Terdapat beberapa kritik dari para ahli
terhadap cultivation theory yang disampaikan oleh Gerbner, yaitu antara lain :
1.
Di dalam
mempelajari thema kekerasan, kontrol lingkungan lebih cocok dibanding kontrol
pendapatan seperti yang pernah dikemukakan oleh Gerbner (Doob dan McDonald)
2.
Sebuah
hubungan nyata antara terpaan kekerasan televisi dan takut akan kejahatan dapat
dijelaskan dengan lingkungan dimana penonton tinggal (Livingstone, 1990).
Mereka yang tinggal di lingkungan yang tingkat kriminilitasnya tinggi lebih
percaya bahwa kemungkinan untuk diserang atau diganggu daripada mereka yang
tinggal di lingkungan yang tingkat kriminalitasnya rendah (Hirsch, 1980).
3.
“Orang
yang merupakan pecandu berat televisi seringkali mempunyai sikap stereotipe
tentang peran jenis kelamin, dokter, bandit atau tokoh-tokoh lain yang biasa
muncul dalam serial televisi. Dalam dunia mereka ibu rumah tangga mungkin
digambarkan sebagai orang yang paling concern terhadap urusan bersih-bersih
rumah. Suami adalah orang yang selalu menjadi korban dalam kisah lucu. Perwira
polisi menjalani hari-hari yang menyenangkan. Semua bandit berwajah seram”. (Frederick
Wiliams 1989).
Beberapa kritikus juga mengatakan bahwa
penonton sebenarnya juga aktif di dalam usaha menekan kekuatan pengaruh
televisi seperti yang tidak diasumsikan dalam cultivation theory. Cultivation
theory menganggap bahwa penonton itu pasif dan lebih memfokuskan pada kuantitas
menonton televisi atau “terpaan” dan tidak menyediakan perbedaan yang mungkin
muncul ketika penonton menginterpretasikan siaran-siaran televisi. Penonton
mempunyai motivasi dan interpretasi yang berbeda satu sama lain.
Josep Dominick mengatakan bahwa ”Individu yang
menonton televisi tanpa motivasi dan perencanaan sebelumnya lebih mudah untuk
melupakan apa yang dilihatnya dari pada mereka yang menonton televisi dengan
motivasi dan perencanaan sebelumnya (Dominic, 1990).
Perlu juga dilihat lingkungan/daerah penonton
yang terkena dampak kultivasi, karena penelitian yang dilakukan Gerbner dan
kawan-kawan dilakukan di Amerika Serikat. Hanya sedikit bukti bahwa efek
kultivasi itu terjadi di luar AS. Weber (yang di kutip Condry, 1989) misalnya
tidak menemukan bukti di Inggris bahwa ada hubungan antara kecanduan televisi
dengan perasaan tidak aman. Itulah kenapa televisi di Inggris sedikit
menampilkan adegan kekerasan dibanding televisi AS. Condry kemudian menyarankan
seharusnya ada kritik yang dilakukan sebelum adegan televisi disiarkan. Atau
bisa jadi karena di Inggris lebih banyak budaya media dibanding AS
F.
CULTIVATION AND THE AUDIENCE
Cultivation banyak mendapat kritikan karena
melihat penonton secara “passive” yang menganggap bahwa setiap penonton melihat
semua pesan dengan cara yang sama. Sebenarnya, penonton mengintepretasikan
perbedaan program dengan cara yang berbeda, perbedaan program yang ditonton
dapat “mengikat” kita pada tingkat level yang berbeda, dan terkadang kita hanya
menyaksiakan apa yang sedang popular saat ini, tetapi secara tidak sadar
pikiran kita yang diubah oleh hal itu. Penonton yang menyaksikan bagian pesan
tertentu akan menginterpretasikan pesan tersebut dengan berbagai macam cara.
Dari hal-hal tersebut maka banyak peneliti yang
mempelajari/ memfokuskan diri pada “system” pesan agar tersampaikan secara
efektif, dengan menilai seberapa efektif, mengganggu, atau menariknya suatu
pesan.
Contoh: suatu pemberitaan tentang kekerasan,
apabila disiarkan hanya beberapa kali dia akan menjadi berita penting, tetapi
kalau terlalu sering dilihat kekerasan hanya akan menjadi hal yang umum di mata
penonton.
Cultivation tidak mempelajari tentang aktivitas
penonton, melainkan apakah penonton berat (heavy viewers) menunjukan bukti
bahwa mereka telah menyerap pesan yang dominan dari televisi. Cultivition atas
kesadaran yang kolektif, sekarang diinstusionalkan dan diatur secara
“corporately” menjadi tingkatan yang tidak dapat diperkirakan.
G.
THE FUTURE OF CULTIVATION RESEARCH
Selama ini, di dalam cultivation theory yang
dijadikan penelitian adalah dampak yang disebabkan oleh televisi terhadap
penerimaan oleh masyarakat. Pengembangan siaran televisi yang mempengaruhi
manusia untuk menjadikannya sebagai suatu kebutuhan dalam mendapatkan informasi
terkadang juga telah mengakibatkan terpengaruhnya cara berfikir manusia sebagai
penonton televisi mengenai sesuatu hal yang kemudian diterapkan dalam kehidupan
kesehariannya. Ke masa mendatang satu pertanyaan penting yang kiranya dapat
perlu diteliti lebih lanjut dalam cultivation research adalah eksplorasi
terhadap “cognitive process” yang dapat menunjukkan bagaimana pengaruh
cultivation theory terhadap permasalahan atau dampak psykologi di masyarakat.
Di sisi lain kemajuan dari dunia industri
pertelevisian akan memberikan suatu tantangan baru dalam cultivation research,
khususnya di era perubahan tekhnologi pertelevisian ke era digital yang
memberikan banyak kesempatan berkembangnya industri pertelevisian dan
penyampaian informasi. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam industri
pertelevisian ini, telah menjadi suatu hal yang perlu dipertimbangkan karena
akan merubah teori-teori dasar maupun permisif mengenai cultivation.
Penelusuran kembali, analisa lanjutan, dan memahami perubahan-perubahan yang
terjadi, dan lebih memberikan perhatian pada dampak kebijakan yang diambil oleh
regulator, akan menjadi tugas lanjutan dalam cultivation research di masa
mendatang.
BAB III
KESIMPULAN
Terlepas dari
pro-kontra masalah dampak media massa terhadap penonton, dalam konteks
penerapan cultivation theory di Indonesia, kita seyogyanya lebih bijaksana
dalam menyikapi. Memang diperlukan penelitian lebih banyak dalam konteks
Indonesia, mengingat penelitian-penelitian yang selama ini dilakukan lebih
banyak di Amerika Serikat dan Eropa.
Hal ini tidaklah
menunjukkan bahwa kondisi di Indonesia berbeda, terlampau menyederhanakan
permasalahan atau menafikkan faktor-faktor lain yang tidak kalah potensial
dalam memicu perilaku agresif. Misalnya faktor depresi dan pengalaman
traumatik. Kalaupun ditemukan adanya suatu proses peniruan modus operandi
kriminalitas, hal ini dianggap berlebihan, namun efek kriminalitas di televisi
tetap saja perlu diwaspadai ketika muncul dalam bentuk desensitisasi kekerasan.
Desensitisasi
kekerasan, atau penumpulan kepekaan terhadap kekerasan merupakan gejala yang
umum terjadi ketika kekerasan tak lagi dianggap sebagai hal yang luar biasa.
Tatkala masyarakat diterpa oleh informasi kekerasan, dan menganggap realitas
media tak beda dengan realitas nyata (prespektif kultivasi), perilaku kekerasan
pun disahkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti itulah kiranya yang terjadi akhir-akhir
ini pada masyarakat Indonesia, yang dapat dilihat bagaimana pengadilan jalanan
begitu merajalela dimana masyarakat ramai-ramai menghakimi pelaku kriminalitas,
memukuli maling sampai mati, membakar hidup-hidup orang yang dicurigai sebagai
perampas ojek (yang ternyata bukan pelaku sesungguhnya!), mengarak dan
menggunduli (belum termasuk penyiksaan fisik) anggota masyarakat yang dicurigai
melakukan perselingkuhan, dan sebagainya.
Tampaknya apa yang
dikemukakan oleh Baran dan McQuail tentang teori masyarakat massa, tengah
berlangsung di Indonesia. Dimana masyarakat mudah dipengaruhi, media mempunyai
kekuatan yang besar, sedangkan media banyak berperan disfungsional. News
judgement banyak ditinggalkan oleh media di Indonesia saat ini demi mengejar
rating dan prestise yang bermuara pada satu tujuan “keuntungan”. Media tidak
lagi bijaksana dan lupa bahwa mereka adalah institusi sosial yang punya
tanggung jawab menjaga tatanan sosial, mendidik masyarakat, bukan sekadar
memberikan informasi tetapi tidak mendidik.
Jika media berkilah
bahwa mereka hanya menyampaikan realitas yang ada. Mereka juga lupa bahwa apa
vang mereka lakukan dengan menayangkan beragam tindak kekerasan dengan
frekuensi yang sering, mereka berinteraksi dengan khalayak, dan ini dapat mengkonstruksi
realitas sosial yang baru, kekerasan-kekerasan yang baru. Media mengangkat
realitas kekerasan tetapi juga menciptakan realitas kekerasan. Namun yang
menyedihkan adalah terdapat kecenderungan bahwa media menciptakan kekerasan
yang baru, dengan kekuatan mereka melalui isi dan kemasan pesan yang
ditayangkan. Apakah hal ini disadari atau tidak, tapi terkadang ini juga
menjadi sebuah dilema ketika media dihadapkan pada tujuan utamnya sebagai
perusahaan yang bergerak di bidang bisnis, dengan salah satu tujuannya adalah
memperoleh keuntungan.
Referensi
Eppstian Syah As’ari, dkk. (2008).Universitas
Indonesia
isi blog yang seperti ni yg saya suka.. thanks gan
ReplyDeleteterima kasih.... atas atensinya..
Deletesukron akhi...!!
ReplyDeletesama-sama... terimakasih atas kunjungannya ke blog saya...
DeleteGAN teori pola komunikasi itu yang mana seh?
ReplyDeleteterus contoh analisis pola komunikasi itu seperti apa?
terima kasih gan