Oleh:
Agus Anwar, Mulyadi
Saputra, Marki, Siti Komalasari, Imelda,
Ati
BAB I
PENDAHULUAN
Sigmund Freud lahir di Moravia, 6 Mei 1856, dan wafat di London, 23 September 1939 akan tetapi hampir selama 80 tahun ia tinggal di Wina dan meninggalkan kota itu hanya ketika Nazi menyerang Austria. Sebagai seorang pemuda ia memutuskan ingin menjadi seorang ilmuwan dan dengan tujuan ini dibenaknya, ia memasuki sekolah kedokteran di Universitas Wina tahun 1873 dan ia tamat 8 tahun kemudian. Freud tidak pernah berniat untuk membuka praktek dokter tetapi karena imbalan yang kecil untuk seorang ilmuwan, kesempatan yang terbatas untuk maju secara akademik bagi seorang Yahudi dan kebutuhan-kebutuhan keluarganya yang bertambah telah memaksanya terjun membuka praktik privat. Di sela-sela praktiknya, ia menyempatkan diri meneliti dan menulis, dan prestasi-prestasinya sebagai seorang peneliti kedokteran, menyebabkan ia mendapat reputasi yang kokoh.
Minat Freud pada neurology menyebabkan ia menspesialisasikan diri
di bidang perawatan gangguan-gangguan saraf, sebuah cabang ilmu kedokteran yang
ketinggalan di tengah gerak maju di kalangan seni penyembuhan selama abad XIX.
Untuk meningkatkan
keterampilan-keterampilan teknisnya, Freud belajar salama
satu tahun pada psikiater Perancis yang terkenal, Jean Charcot, yang
menggunakan hypnosis dengan pasien-pasiennya, namun ia tidak yakin dengan
kemajurannya. Karena itu, ketika ia mendengar metode baru yang dikembangkan
oleh seorang dokter Wina, Joseph Breuer, suatu metode di mana pasien
disembuhkan dari simtom-simtom dengan cara mengungkapkannya, ia mencobanya dan
melihat bahwa cara itu efektif. Breuer dan Freud bekerjasama menulis beberapa
kasus-kasus hysteria mereka yang berhasil disembuhkan dengan teknik
pengungkapan.
Lebih dari 40 tahun Freud menyelidiki ketidaksadaran dengan metode
asosiasi bebas dan mengembangkan apa yang umumnya dipandang sebagai teori
kepribadian pertama yang komprehensif. Dengan meperlihatkan prestasi-prestasinya
yang luar biasa ini, ia menjadi salah seorang di antara tokoh-tokoh yang paling
kontroversial dan berpengaruh pada zaman modern.
A. Pendapat Umum
Psikoanalisa
Freud menguraikan teori-teori kepribadian yang berorientasi psikodinamik
sebagaimana yang diuraikan juga oleh Psikologi Ego (Erik Erikson), Teori
Analitik (Carl Jung), Teor-teori Psikologi Sosial (Alferd Adler), Erich Fromm,
Karen Horney, dan Harry Stack Sullivan. Teori-teori ini menyatakan bahwa
manusia pada dasarnya dilahirkan jahat. Tingkah laku manusia digerakkan oleh
daya-daya negatif atau merusak dan tidak disadari, seperti kecemasan dan agresi
atau permusuhan. Maka, agar berkembang ke arah yang positif manusia membutuhkan
cara-cara pendampingan yang bersifat impersonal dan direktif atau mengarahkan.
Jadi aliran-aliran ini merupakan aliran pemikiran yang agak pesimistik.
B. Pendapat Khusus
B. Pendapat Khusus
Menurut
Sigmund Freud kepribadian seseorang terstruktur atas tiga system pokok yaitu:
1. Id (das es) adalah system kepribadian biologis
yang asli, berisikan sesuatu yang telah ada sejak lahir. Id memiliki prinsip
kerja yang serba mengejar kenikmatan (pleasure principle) dan cenderung
bersifat rasional, primitive, impulsive, dan agresif.
2. Ego (das ich) adalah aspek psikologis kepribadian
yang timbul karena kebutuhan organisme memerlukan transaksi dengan kenyataan
obyektif. Ego mengikuti prinsip kenyataan (reality principle) yang bersifat
rasional-logis. Tujuan prinsip ini adalah mencegah terjadinya ketegangan sampai
ditemukan suatu obyek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan. Ego juga disebut
eksekutif kepribadian, karena ia mengontrol tindakan, memilih lingkungan untuk
memberi respons, memuaskan insting yang dikehendaki dan berperan sebagai
pengendali konflik antara id dan super ego.
3. Super ego (das ueber ich) adalah aspek-aspek sosiologis kepribadian yang mengintegrasikan
nilai-nilai moral dan cita-cita luhur. Ia mencerminkan yang ideal bukan riil,
mengejar kesempurnaan dan bukan kenikmatan. Timbulnya super ego ini bersumber
dari suara hati sehingga fungsinya; (1) merintangi impuls-impuls id, terutama
impuls-impuls seksual dan agresif yang aktualisasinya sangat ditentang
masyarakat, (2) mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal yang moralitas
daripada realitas, (3) mengejar kesempurnaan. Jadi super ego menentang ukuran
baik-buruk id ataupun ego, dan membuat dunia menurut gambarannya sendiri yang
tidak rasional bahkan menunda dan merintangi pemuasan insting.
Dinamika kepribadian ditentukan oleh
cara energi psikis didistribusikan serta digunakan oleh id, ego, dan super ego.
Oleh karena jumlah energi itu terbatas maka akan terjadi semacam persaingan
diantara ketiga sistem itu dalam menggunakan energi tersebut. Salah satu sistem
itu mengontrol energi dengan mengorbankan kedua sistem yang lain.
Adapun cara kerja masing-masing struktur dalam pembentukan
kepribadian adalah:
1) Apabila rasa id-nya menguasai sebagian
besar energi psikis itu, pribadinya bertindak primitif, impulsif, dan agresif,
dan ia akan mengumbar impuls-impuls primitifnya.
2) Apabila rasa ego-nya menguasai
sebagian besar energi psikis itu, pribadinya bertindak dengan cara-cara yang
realistik dan rasional logis.
3) Apabila rasa super ego menguasai
sebagian besar energi psikis itu, pribadinya akan menjalar pada hal-hal yang
bersifat moralitas, mengejar hal-hal yang sempurna yang kadang-kadang
irasional.
Perubahan
tingkah laku seperti itu digerakkan dan dimotivasi oleh sebuah energi. Bagi
Freud, energi yang menggerakkan tingkah laku adalah libido. Libido merupakan
bentuk energi yang dipakai oleh insting-insting hidup untuk menjalankan
tugasnya. Insting hidup yang paling ditekankan oleh Freud adalah seks yang
bertempat di dalam id. Dengan uraian ini maka tindakan biologis, psikologis,
dan sosiologis seseorang merupakan upaya pemenuhan hasrat seksualnya demi
menghindari tegangan-tegangan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Struktur Kepribadian
Stuktur
kepribadian dalam islam disebut nafs. Nafs dalam khazanah Islam memiliki banyak
pengertian. Nafs dapat berarti jiwa (soul), nyawa, konasi yang berdaya syahwat
dan ghadab, kepribadian, dan substansi psikofisik manusia. Nafs memiliki natur
gabungan antara natur jasad dan ruh. Nafs adalah potensi jasad-ruhani
(psikofisik) manusia yang secara inhern telah ada sejak manusia siap
meneimanya. Substansi
nafs memiliki potensi gharizah. Jika potensi gharizah ini dikaitkan dengan
substansi jasad dan ruh, dapat dibagi menjadi tiga bagian;
(1) al-qalb: → (super ego)
Merupakan materi organik yang memiliki
sistem kognisi yang berdaya emosi. Ia berada di jantung (al-mudghah). Qalbu
memiliki kemampuan untuk memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah) melalui cita-rasa
(al-zawqiyah).
“Dan orang-orang beriman mendapat
petunjuk dari Allah melalui hatinya“ (QS. Al-Taghabun, 64: 11).
Ketika
mengaktual, potensi qalbu tidak selamanya menjadi tingkah laku yang baik.
Baik-buruknya sangat tergantung pada pilihan manusia sendiri. Sbada Nabi Saw:
“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat
segumpal daging. Apabila ia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila
ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak pula. Ingatlah bahwa ia adalah qalbu.”
(HR. Al-Bukhari dari Nu’man ibn Basyir)
Selain
kemampuan memperoleh pengetahuan dari Allah, qalbu juga menjadi pusat kesadaran
moral. Ia memiliki kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk serta
mendorong manusia memilih hal-hal yang baik dan meninggalkan yang buruk, karena
kemampuan yang emikian, maka Nabi Muhammad menganjurkan manusia meminta fatwa
kepada
qalbunya. Qalbu memiliki kemampuan untuk memberikan jawaban ketika seseorang
harus memutuskan sesuatu yang sangat penting.
“Mintalah fatwa kepada qalbumu.” (HR.
Ahmad dan al-Darimi).
Al-Ghazali berpendapat bahwa qalbu memiliki insting yang disebut
dengan al-nur al-ilahiy (cahaya ketuhanan) dan al-bashira al-albathina (mata
batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan. Al-Ghazali juga berpendapat
bahwa qalbu diciptakan untuk memperoleh kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan qalbu
sangat tergantung pada ma’rifah kepada Allah Swt. Hal itu juga dipertegas oleh
Al-Zamakhsyariy yang berpendapat bahwa qalbu itu diciptakan oleh Allah Swt.
sesuai dengan fitrah asalnya dan berkecenderungan menerima kebenaran dari-Nya.
(2) Akal: → ego
Secra
etimologi, akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-ribah (ikatan), al-hajr
(menahan), al-nahy (melarang), dan man’u (mencegah). Berdasarkan makna bahasa
ini maka yang disebut orang yang berakal adalah orang yang mampu menahan dan
mengikat hawa nafsunya. Jika hawa nafsunya terikat jiwa rasionalitasnya mampu
bereksistensi. Jadi akal mempunyai kemampuan mengadakan penalaran rasional
logis.
Akal
diungkap dalam Al-Qur’an tidak seperti qalbu. Akal diungkap hanya dalam bentuk
kata kerja (fi’il) dan satu pun tidak disebut kan dalam dalam bentuk kata benda
(isim). Hal ini menunjukkan bahwa akal bukanlah suatu susbtansi (jauhar) yang
bereksistensi, melainkan aktivitas substansi tertentu. Komponen nafsani yang
mampu berakal adalah qalbu. Firman Allah Swt:
“Mereka mempunyai qalbu yang mereka
berakal dengannya.” (QS. Al-Hajj, 32:46)
Berdasarkan
ayat ini, para mufasir sebagaimana yang diulas oleh Al-Ghazali dan Wahba
Al-Zukhailiy berbeda pendapat. Sebagian ada yang berpendapat bahwa qalbu yang
berakal, sedang sebagian yang lain menyebutnya “otak“ (al-dimagh) yang berakal.
Al-Zukhiliy lebih lanjut menjelaskan bahwa pendapat yang valid adalah pendapat
kedua, yakni otak yang berakal bukan qalbu. Adapun maksud dari QS Al-Hajj: 46
tersebut adalah bahwa dalam tradisi kebahasaan, seseorang sering menggunakan qalbu
untuk menyebutkan akal, sehingga dalam Al-Qur’an menggunakan qalbu untuk
berakal.
(3) Nafsu: → id
Nafsu adalah daya nafsani yang memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan al-ghadabiyah dan
al-syahwaniyah. Al-Ghadab adalah suatu daya yang berpotensi untuk menghindari
diri dari segala yang membahayakan. Ghadab dalam terminologi psikoanalisa
disebut dengan defense (pertahanan, pembelaan, dan penjagaan), yaitu tingkah
laku yang berusaha membela atau melindungi ego terhadap kesalahan,
kecemasan,dan rasa malu; perbuatan untuk melindungi diri sendiri; dan
memanfaatkan dan merasionalkan perbuatannya sendiri. Al-Syahwat adalah suatu
daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala yang menyenangkan.
Syahwat dalam terminologi psikologi disebut dengan appetite, yaitu suatu hasrat
(keinginan, birahi, hawa nafsu), motif atau impuls berdasarkan perubahan
keadaan fisiologi.
Prinsip
kerja nafsu mengikuti prinsip kenikmatan (pleasure principle) dan berusaha
mengumbar impuls-impuls primitifnya. Sehingga ia merupakan tempat dan sumber
kejelekan dan tingkah laku yang tercela. Firman Allah Swt:
“Sesungguhnya nafsu itu selalu
menyerukan pada perbuatan buruk, kecuali nafsu yang diberi rahmatoleh Tuhanku.”
(QS. Yusuf, 12 : 53)
Apabila
impuls-impuls ini tidak terpenuhi maka terjadi ketegangan diri. Bila manusia
melayani semua dorongan yang dimilikinya, maka dalam dirinya akan menguat yang
namanya hawa nafsu. Bila hawa nafsu ini menggumpal dan berkuasa dalam diri
seseorang maka ia tumbuh menjadi orang- orang yang zalim, sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur’an.
“Tetapi orang-orang yang zalim
mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan.” (QS. Ar-Ruum, 30: 29)
B. Dinamika Kepribadian
Berdasarkan
struktur di atas, kepribadian dalam psikologi islam adalah “integrasi sistem
qalbu, akal, dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku.“ Meskipun
definisi ini amat sederhana, tapi memiliki konsep yang mendalam. Definisi ini
juga sebagai bandingan dengan definisi yang dikemukakan oleh Freud dari
psikoanalisa.
Daya-daya
yang terdapat dalam substansi nafs manusia saling berinteraksi satu sama lain
dan tidak mungkin dapat dipisahkan. Kepribadian sesungguhnya merupakan produk
dari interaksi diantara ketiga komponen tersebut, hanya saja ada salah satu di
antaranya yang lebih mendominasi dari komponen yang lain. Sedang Al-Ghazali
berpendapat bahwa apabila pikiran itu dilahirkan dari qalbu, syahwatnya berubah
menjadi kemauan, sedang ghadabnya berubah menjadi kemampuan yang tinggi
derajatnya. Salah stu dominasi struktur kepribadian ini menimbulkan adanya
tingkatan-tingkatan kepribadian manusia:
1. Kepribadian Amarah (nafs al-amarah)
Kepribadian
amarah adalah kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip
kenikmatan, jadi dalam ketiga struktur kepribadian manusia, nafsu yang
mendominasi kepribadian amarah ini. Firman Allah Swt:
“Sesungguhnya nafsu itu selalu
menyerukan pada perbuatan buruk, kecuali nafsu yang diberi rahmatoleh Tuhanku.”
(QS. Yusuf, 12 : 53)
Kepribadian
amarah dapat beranjak ke kepribadian yang baik apabila ia telah diberi rahmat
oleh Allah Swt. Pendakian kepribadian dapat mencapai satu tingkat dari
tingkatan kepribadian yang ada, yaitu kepribadian lawwamah.
2. Kepribadian Lawwamah (nafs al-lawwamah)
Kepribadian
lawwamah adalah kepribadian yang telah memperoleh cahaya qalbu, lalu ia bangkit
untuk memperbaiki kebimbangannya antara dua hal. Dalam upayanya itu
kadang-kadang tumbuh perbuatan yang buruk yang disebabkan oleh watak gelapnya
namun kemudian ia diingatkan oleh nur ilahiy, sehingga ia mencela perbuatannya
dan selanjutnya ia bertaubat dan beristighfar. Jadi akal mendominasi di antara
ketiga struktur kepribadian. Firman Allah Swt:
Artinya:
“Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah, 75 : 2)
“Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah, 75 : 2)
Akal
apabila telah diberi percikan nur qalbu, fungsinya menjadi baik. Ia dapat
dijadikan sebagai salah satu mediauntuk menuju kepada Tuhan. Al-Ghazali sendiri
meskipun sangat mengutamakan pendekatan cita-rasa, tapi ia masih mengutamakan
kemampuan akal. Sedangkan Ibnu Sina, akal mampu mencapai pemahaman yang abstrak
dan akal juga mampu mencapai akal mustafad, yaitu akal yang mapu menerima
limpangan pengetahuan dari Tuhan melalui akal fa’al (malaikat jibril).
3. Kepribadian Muthmainnah (nafs al-muthmainnah)
Kepribadian
muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur qalbu,
sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang
baik. Kepribadian ini selalu berorientasi ke komponen qalbu untuk mendapat
kesucian dan menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya tenang. Begitu
tenangya kepribadian inisehingga ia dipanggil oleh Allah Swt. Firman Alla Swt:
Artinya:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr, 89 : 27-30)
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr, 89 : 27-30)
Al-Ghazali
menyatakan bahwa daya qalbu (yang mendominasi kepribadian muthmainnah) mampu
mencapai pengetahuan (ma’rifah) melalui daya cita-rasa (dawq) dan kasy
(terbukanya tabir misteri yang menghalangi penglihatan bati manusia). Sedangkan
Ibnu Khaldun menyatakan dalam Muqaddimat bahwa ruh qalbu itu disinggahi oleh
ruh akal. Ruh akal secara substansial mampu mengetahui apa saja di alam amar,
sebab ia berpotensi demikian.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
uraian makalah di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa pendapat yang
sesuai dengan Al-Qur’an dan ada pula yang tidak sesuai diantaranya:
a. Pendapat yang sesuai
Tentang struktur kepribadian yang
diungkapkan oleh Freud adalah id yang mempunyai kesamaan dengan hawa nafsu, ego
dengan akal, dan super ego dengan qalbu. Tentang dinamika kepribadian yang
diungkapkan oleh Freud, yaitu merupakan integrasi antara ketiga sturktur kepribadian id,
ego, dan super ego.
Demikian
pula dalam psikologi islam yaitu integrasi antara qalbu, akal, dan nafsu yang
sudah diperjelas dalam Al-Qur’an adanya tingkatan-tingkatan kepribadian manusia
apabila salah satu dari ketiga struktur kepribadian tersebut lebih mendominasi.
Tingkatan-tingkatan kepribadian itu adalah: kepribadian amarah, kepribadian
lawwamah, dan kepribadian muthmainnah.
b. Pendapat yang tidak sesuai
Meskipun menurut Freud perilaku itu
ditimbulkan karena libido seksual namun dalam fase bayi tidak memiliki
keinginan birahi dan distruksi sebagaimana yang diungkapkan oleh Freud.
Tidak
semua perilaku orang itu semata-mata ditentukan oleh dorongan sex sebagaimana
diungkapkan oleh Freud, meskipun tidak dipungkiri bahwa nafsu memiliki daya
tarik kuat sekali dibanding kedua system nafsani yang lain. (Wallohu “alam)
DAFTAR PUSTAKA
Hall, Calvin S. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Hartati, Netty,dkk. Islam & Psikologi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004.
Nashori, Fuad. Potensi-potensi Manusia, Seri Paikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003
wah bagus banget ni..
ReplyDeletesesuai pengalaman kuliah smt lampau membahas psikologi analisisnya S.Freud,.benar2 nggak setuju deh sama pendapatnya ttg 'perilaku manusia krn dorongan sex' krn pada kenyataannya nggak sesuai bgt dg apa yg kita rasakan,. Mungkin S.Freud nya aja yg kya gt kalii,.he.
mksh pak mulyadi, ni tulisan brmanfaat bgt
Tetapi tidak sedikit orang juga yang masih meng-amini (menyetujui) pendapat Freud, hanya kami menganalisanya dengan pandangan Islam... sehingga ada beberapa hal yang kami tidak sependapat dengan Freud..
DeleteDan terima kasih juga buat Mbak Nisa yang berkenan membaca makalah singkat ini, mohon maaf juga jika ada kesalahan atau kekurangan dalam makalah yang kami suguhkan...
Terima kasih. Sangat membantu sekali.
ReplyDelete