Foto: Andre Navrada |
Dulu, media massa adalah
satu-satunya wahana yang dapat membius masyarakat mulai edukasi, provokasi, bahkan
dapat mengobrak-abrik tatanan negara. Keperkasaan itu seakan-akan mutlak dan
tak terkalahkan. Alhasil, media massa dimanfaatkan banyak kalangan untuk
propaganda, promosi, dan menyampaikan bermacam informasi.
Dalam dunia komunikasi,
keperkasaan media massa sesuai dengan teori jarum hipodermik dan teori peluru.
Sekali membius, seseorang tak dapat berbuat apa-apa. Namun keperkasaan itu
dilemahkan teori agenda setting,
dimana tidak semua yang diungkapkan media massa bersifat penting bagi
masyarakat, tergantung setting dan
targetnya hingga masyarakat bisa memilih. Hal ini sesuai pula dengan teori uses and gratification. Lalu, apakah teori-teori
tersebut masih berlaku bagi media massa dengan munculnya new media semacam social
media, portal, dan web blog?
Memang terjadi perubahan
budaya cukup besar setelah munculnya new
media, terutama social media. Mulai
pola komunikasi hingga perilaku dari masyarakat itu sendiri. Namun semuanya tak
dapat dihindari, sebab perkembangan teknologi adalah suatu keniscayaan yang tak
dapat dikekang dan ditantang, melainkan harus diterima dan dipelajari. Hal ini
diungkapkan Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Republik
Indonesia Bidang Komunikasi dan Media, Dr. Henry Subiakto, MA.
“Social media merupakan bagian dari teknologi yang tidak bisa
dihindari. Artinya, teknologi itu akan datang dan kita tidak bisa menghindar. Misalnya
ada sisi negatifnya lalu kita tidak boleh menggunakan itu, tentu tidak bisa.
Teknologi merupakan keniscayaan sejarah, dengan segala konsekuensinya. Teknologi
akan selalu datang. Ketika kita menghambatnya, berarti kita telah menghambat
perkembangan dan pengetahuan manusia di muka bumi,” ujar Henry.
Memang teknologi tak
bisa ditahan. Selama manusia masih mampu berpikir dan berinovasi, maka
teknologi baru akan terus bermunculan. Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap
detik teknologi baru tercipta. Tak jauh berbeda dengan perkembangan media yang
kini memasuki era new media atau
sering dikatakan sebagai media masa depan.
Menurut dosen Ilmu
Komunikasi Institut Manajemen Telkom (IM Telkom), Alila Pramiyanti, S.Sos,
M.Si, new media memiliki konsep cukup
luas dan perkembangannya pun cukup pesat. Tilik saja perkembangan komputer,
internet, handphone, smartphone, hingga tablet. Dengan
perkembangan ini, banyak hal turut berubah, seperti kebiasaan, pola hidup,
hingga cara berkomunikasi. Perubahan jelas berdampak positif maupun negatif.
“Ketika teknologi
komunikasi berkembang, cara orang berkomunikasi pun berubah, dan pasti ada efek
positif dan negatifnya. Positifnya, arus informasi jadi lebih mudah, cepat, real time. Negatifnya, orang jadi kurang
bertatap muka dan lebih asyik dengan gadget-nya,”
kata Alila.
Perubahan
Pola Komunikasi
Perubahan pola
komunikasi yang terjadi setelah tumbuhnya social
media cukup besar. Dulu, konsep dasar komunikasi pada media adalah adanya
komunikator yang sering dijabarkan sebagai media massa, kelompok besar atau
organisasi, sementara komunikan adalah masyarakat yang hanya menerima dan
memberikan respon atau feedback
tertunda. Kini, konsep itu berubah drastis. Saat ini, individu dapat menjadi komunikator
untuk khalayak luas. Seorang komunikan pun dapat berubah menjadi komunikator
ketika ia dapat mengungkapkan atau mendorong bahkan mempropaganda masyarakat
lainnya.
“Sekarang yang namanya audiens atau komunikan bisa sekaligus
menjadi komunikator. Artinya, saat ini publik dapat menjadi komunikator, sedangkan
dulu komunikator adalah media, institusi-institusi besar, dan
organisasi-organisasi besar. Jadi, masyarakat dulu semi pasif atau bahkan pasif
yang hanya menerima, kalaupun berkomentar sifatnya terbatas dan tertunda.
Sekarang, masyarakat pengguna media konvensional pun kalah waktunya
dibandingkan pengguna media modern semacam social
media. Gadget lebih sering digunakan ketimbang menonton televisi atau membaca
koran,” tutur Henry.
Dia melanjutkan,
“Apakah seseorang selama membuka social media
akan diam saja? Tentu tidak. Ia akan baca,
forward pesan, komentar, bahkan
membuat status atau twit baru, dan
disebarkan. Ini berarti dia sudah menjadi komunikator. Jadi, publik menjadi
komunikator untuk publik yang lain,” jelas Henry.
Tak hanya pola
komunikasi yang terus berubah jika dilihat dari sisi sejarahnya. Dosen Sekolah
Komunikasi dan Multimedia (SKM) IM Telkom, Imansyah Lubis, S.Sos, M.Sn.
memaparkan, perubahan bermula dari komunikasi yang menggunakan simbol berbentuk
grafik, gambar atau lukisan. “Dahulu orang berkomunikasi salah satunya dengan
lukisan gua yang sifatnya piktorial dan visual, lalu diciptakan huruf misalnya
huruf Mesir, Cina dan Jepang yang berasal dari gambar. Hingga saat ini munculah
huruf-huruf yang dipahami. Nah, kini muncul lagi emoticon atau berbagai gambar, misalnya dalam sms, seperti bibir
tersenyum dan sebagainya. Ini sebuah perubahan yang kembali kepada visual. Misalnya
handphone dulu menggunakan tulisan ‘SMS’
atau ‘foto’ untuk menunjukkan menu tersebut. Tapi kini SMS (short message service) menggunakan
lambang amplop dan foto dengan gambar kamera. Semuanya kembali kepada visual atau
simbol, graphic user interface,”
paparnya.
Lain halnya dengan
Alila yang menyatakan, terjadi dua perubahan signifikan pola komunikasi. Pertama, berkurangnya komunikasi tatap
muka. Padahal komunikasi tatap muka cukup penting untuk mengetahui bermacam
bahasa tubuh yang tak bisa diungkapkan dalam kata-kata saat berbicara. “Bahasa
tubuh, mimik wajah, intonasi suara yang spontan saat berbicara langsung tatap
muka tak dapat tergantikan. Meski sekarang ada emoticon, menurut saya, tetap saja berbeda. Emoticon akan terbatas dan tak bersifat spontan. Komunikasi tatap
muka akan lebih menemukan ekspresi manusia secara lebih luas lagi,” ungkap
Alila.
Senada Alila, Henry berpendapat,
komunikasi tatap muka memang semakin berkurang setelah munculnya social media. Misalnya, pertemanan dan
sosialisasi dengan tetangga cukup menurun ketimbang sebelum adanya new media. Padahal, “Komunikasi personal
tetap penting, terutama untuk keluarga inti. Kalau kangen ke orang tua khan pengen ketemu langsung, apalagi
ortunya tidak suka pakai twitter. Tapi di lingkungan lebih horisontal seperti
ke tetangga, kenalan, dan sebagainya interaksi akan lebih banyak via social media,” tambah Henry.
Perubahan kedua menurut Alila, munculnya budaya texting yaitu terbiasa menulis dalam bentuk teks-teks singkat. Budaya texting ini juga berpengaruh terhadap
kemampuan menulis (writing skill). "Contohnya mahasiswa, mereka sering
menggunakan gaya bahasa
ataupun tulisan SMS atau BBM (Blackberry
Messenger) dalam ujian sehingga pembahasan mereka lebih singkat, kurang lengkap, analisisnya kurang mendalam. Menurut saya, kemampuan generasi sekarang agak menurun dalam writing skill, khususnya dalam analisis, membuat paper, marketing plan, atau menyusun karya ilmiah seperti skripsi. Mungkin karena
mereka terbiasa dengan space
terbatas,” katanya.
Perubahan pola
komunikasi akibat berkembangnya new media
memang tak begitu disadari langsung masyarakat. Namun dari esensi dan nilai
komunikasi amat terasa, sebab terkadang seseorang lebih sering berkomunikasi di
dunia maya ketimbang berkomunikasi langsung di dunia nyata.
Lumpuhkan
Keperkasaan Media
Banyak penelitian menyinggung
kekuatan media, sehingga muncul teori-teori yang memaparkan betapa media dapat
berfungsi sebagai sarana edukasi, propaganda, informasi hingga menghibur. Namun
terpaan dahsyat media massa kini mulai luntur seiring tumbuhnya new media, khususnya social media. Sebagaimana diungkapkan
Henry, social media kini mulai
menggeser keperkasaan media massa.
“Seseorang yang
memiliki account Twitter dan memiliki
follower 150 ribu misalnya, ia
memiliki kekuatan untuk mempropaganda, karena yang membaca twit-nya sangat
banyak. Pembaca 150 ribu itu lebih banyak dari jumlah pembaca surat kabar
Pikiran Rakyat yang hanya sekitar 75 ribu orang. Jadi, sekarang tak hanya media
massa yang bisa meruntuhkan suatu Negara, tapi individu pun bisa,” ungkap dosen
Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan Universitas
Indonesia (UI) ini.
Kedahsyatan terpaan social media dikarenakan komunikasi
interpersonal. “Dalam komunikasi, yang dapat memberikan perubahan sikap paling
besar adalah komunikasi interpersonal. Kalau Anda ketemu saya, lantas saya
menjelek-jelekkan orang lain, maka Anda akan percaya. Atau sebaliknya saya
memuji dan mengatakan orang itu baik, maka Anda juga akan percaya. Tapi kalau
di media massa, belum tentu Anda akan percaya. Maka riset-riset komunikasi
mengatakan, pengaruh komunikasi interpersonal sangat besar terhadap seseorang,”
jelas Henry.
Ampuhnya komunikasi
interpersonal disadari sejak lama. Masalahnya, dulu dibutuhkan waktu lama untuk
melakukan komunikasi interpersonal kepada banyak orang, sehingga komunikasi
massa dianggap lebih mudah. Tapi kini, komunikasi interpersonal lebih mudah dan
cepat dilakukan dengan social media. Semua
orang dapat menjadi komunikator layaknya media massa tanpa harus memiliki
banyak uang, tidak seperti fenomena sebelumnya ketika pemilik media massa
adalah para konglomerat atau pemodal besar.
“Individu dalam dunia
seperti sekarang bisa menjadi apa saja terkait media. Ketika seseorang memiliki
follower yang banyak, lalu dia meng-upload video dan gambar disertai narasi
dan penjelasan, maka dia otomatis telah memiliki media. Itulah yang dinamakan
media konvergensi atau teknologi konvergensi,” kata Henry.
Dampak
Social Media
Indonesia salah satu
negara yang memiliki kecepatan luar biasa dalam pertumbuhan teknologi dan new media. Dalam hal social media, Indonesia menjadi salah
satu pengguna terbanyak di dunia. Perkembangannya merasuk hingga pelosok nusantara.
Penggunanya berbagai kalangan.
Masih ingat tukang
becak dari Yogyakarta bernama Blasius Haryadi yang memanfaatkan positif Facebook?
Atau kisah sejumlah orang tua yang kehilangan anak perempuannya yang pergi
dengan teman baru yang baru dikenalnya lewat social media? Inilah pedang bermata dua social media yang dapat memberikan keuntungan sekaligus menebarkan kesengsaraan.
“Social media bisa digunakan untuk hal positif maupun negatif. Semuanya
tergantung siapa yang menggunakannya,” papar Henry. Imansyah
menambahkan, “New media sebenarnya ambivalent dan bebas nilai. Artinya,
tergantung seseorang memanfaatkannya untuk kebutuhan apa, positif atau negatif
yang bisa menentukan adalah diri sendiri.”
Sementara Alila
menilai, social media memiliki banyak
dampak positif, terutama dalam mewadahi
ekspresi seseorang, karena di social
media seseorang dapat luas dan bebas berekspresi. “Dengan social media, seseorang bebas
berekspresi mengutarakan apa yang ia pikirkan, bahkan menuangkan isi hatinya.
Tapi kadang pesan yang disampaikan tak sesuai dengan medianya. Pesan khan seharusnya disampaikan melalui media yang tepat,”
kata Alila.
Ihwal anggapan social media dapat mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat, baik Henry, Alila, maupun Imansyah menyetujuinya. Pasalnya, sekarang banyak orang jarang berinteraksi dengan tetangga atau orang-orang dekat lingkungannya, namun saling berkomentar akrab dengan mereka yang yang belum dikenalnya betul lewat saling mengunggah status di social media.
Ihwal anggapan social media dapat mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat, baik Henry, Alila, maupun Imansyah menyetujuinya. Pasalnya, sekarang banyak orang jarang berinteraksi dengan tetangga atau orang-orang dekat lingkungannya, namun saling berkomentar akrab dengan mereka yang yang belum dikenalnya betul lewat saling mengunggah status di social media.
Pandangan mereka rada berbeda
dengan Chairman of Technology Officer
(CTO) PT Darta Media Indonesia atau lebih dikenal dengan Kaskus, Andrew Darwis.
Ia mengatakan, social media lebih cenderung
mendekatkan yang jauh. “Menurut saya, social
media malah mendekatkan yang jauh, karena dengan fasilitas yang tersedia di
dalamnya, seseorang bisa tetap berkomunikasi dengan dekat meskipun jaraknya
berjauhan. Kasus Kaskus pada awalnya memang dibuat untuk mengobati kerinduan
mahasiswa yang kuliah di luar negeri. Sampai sekarang pun banyak mahasiswa
Indonesia yang berada di luar negeri menggunakan Kaskus untuk sharing ke sesama Kaskuser (sebutan
untuk pengguna Kaskus),” ungkap Andrew.
Tak pelak, dampak social media memang akhirnya kembali
pada masing-masing individu. Apakah mau menggunakan teknologi plus fasilitas di
dalamya untuk kebaikan atau keburukan?
*Tulisan ini telah dimuat di Majalah Cyber Edisi Oktober 2012
>>>Artikel lain "KLIK"<<<
*Tulisan ini telah dimuat di Majalah Cyber Edisi Oktober 2012
>>>Artikel lain "KLIK"<<<
No comments:
Post a Comment